[foto: google] |
Pengelolaan
hutan berbasis masyarakat yang dikenal juga dengan perhutanan sosial sebenarnya
telah banyak dikembangkan melalui skema hutan kemasyarakatan, hutan desa, kemitraan
dan berbagai skema lainnya. Pada dasarnya skema ini merupakan distribusi akses
kepada masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutan yang telah diatur dalam Pasal 83 ayat (1) dan (2) Peraturan
Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Dalam Pasal 83 ayat (1) dan (2) menyebutkan untuk mendapatkan
manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil dapat dilakukan pemberdayaan
masyarakat setempat melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam
rangka peningkatan kesejahteraan melalui hutan desa, hutan kemasyarakatan atau
kemitraan.
Pengaturan teknis pengelolaan hutan berbasis
masyarakat sebelumnya telah diatur Permenhut Menteri Kehutanan No.P.88/Menhut-II/2014
tentang Hutan Kemasyarakatan, Permenhut No. P.89/Menhut-II/2014 tentang Hutan
Desa, dan Permenhut No. P.39/MenhutII/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui
Kemitraan Kehutanan. Selanjutnya telah disempurnakan dengan Permen LHK No.
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Dalam Permen LHK
ini keberadaan hutan adat yang mendapat pengakuan dengan adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) No.
35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2012 juga telah diakamodir sebagai salah satu
hutan hak yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Oleh karena itu secara
konstitusional masyarakat hukum adat telah diakui sebagai subjek hukum yang
memiliki hak dan kewajiban dalam mengelola sumberdaya hutan dalam wilayah
adatnya. Pengaturan pengelolaan hutan hak termasuk hutan adat secara teknis
telah diatur pula dalam Permen LHK No. 32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak serta Peraturan Dirjen
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan No. P.1/PSKL/Set/KUM.1/2/2016
tentang Tata Cara Verifikasi dan Validasi Hutan Hak.
Meskipun
pengelolaan hutan berbasis masyarakat telah mendapatkan legalitas secara
yuridis dan masyarakat memiliki legal
standing dalam mengelola sumberdaya hutan di wilayahnya sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundangan-undangan di atas. Namun hingga saat ini masih
menyisakan berbagai persoalan hukum secara yuridis maupun implementasinya yang
dapat menjadi batu sandungan bagi masyarakat dalam mendapatkan akses keadilan
dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Kondisi ini salah satunya disebabkan karena
PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP
No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan, sebagai payung hukum pengelolaan hutan berbasis
masyarakat secara
yuridis formal sudah tidak memadai lagi dan sudah seharusnya disesuaikan dengan
perkembangan produk hukum dengan adanya Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011,
Putusan MK No.
35/PUU-X/2012, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan UU No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian maka seharusnya pemerintah
telah menindaklanjutinya dengan melakukan revisi terhadap keberadaan PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan
Hutan. Bila revisi ini tidak segera dilakukan oleh pemerintah maka akan berdampak
langsung bagi masyarakat untuk mendapatkan kepastian dan akses keadilan dalam pengelolaan
sumberdaya hutan di wilayahnya. Disamping adanya kekhawatiran akan menimbulkan
konflik hukum dan konflik sosial dalam tataran implementasi pengelolaan hutan
berbasis masyarakat yang telah menjadi target pemerintah saat ini dalam RJMN
periode 2015-2019. Bahkan revisi peraturan ini sangat penting dilakukan agar
adanya kerangka acuan yang jelas dalam tata kelola dan pemanfaatan hutan di
Indonesia termasuk dalam hal ini kerangka acuan dalam pengelolaan hutan
berbasis masyarakat.
Pengelolaan
hutan berbasis masyarakat dalam kerangka kebijakan dan implementasi harus ditempatkan
pada kerangka reformasi agraria dan sumberdaya alam sebagaimana amanat dari
TAP. MPR No. IX/MPR/2001 dengan kebijakan refomasi sektor kehutanan lebih ditujukan
pada upaya pemulihan hak-hak masyarakat dan penyelesaian konflik sektor
kehutanan, serta memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
menentukan sendiri (self determination)
skema pengelolaan hutan di wilayahnya sesuai dengan nilai kearifan lokal (local wisdom) dan karakteristik
wilayahnya tanpa dibatasi dengan skema yang telah ada selama ini. Perubahan
kebijakan ini diharapkan membawa angin segar bagi masa depan akses keadilan dan
demokratisasi dalam pengelolaan sumberdaya hutan, bukan lagi bersifat parsial
dan sektoral, melainkan harus terintegrasi termasuk menginterasikannya dengan
keberadaan UU Desa yang menempatkan masyarakat sebagai aktor kunci dalam
pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan karakteristik wilayahnya baik desa
maupun desa adat atau nama lain;
Skema pengelolaan hutan
berbasis masyarakat yang sebelumnya telah diatur Permenhut Menteri Kehutanan No.P.88/Menhut-II/2014 tentang
Hutan Kemasyarakatan, Permenhut No. P.89/Menhut-II/2014 tentang Hutan Desa, dan
Permenhut No. P.39/MenhutII/2013 tentang
Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan, dan
selanjutnya telah disempurnakan dengan Permen LHK No.
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Dari aspek pengelolaan
sumberdaya hutan memang dapat dijadikan sebagai solusi alternatif bagi masyarakat
untuk meningkatkan kesejahteraannya, namun disisi lainnya masih menimbulkan dilema
tersendiri bagi komunitas masyarakat adat dalam memperjuangkan pemulihan haknya
atas hutan adat yang masih berada dalam kawasan hutan negara, karena berdasarkan
Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 eksistensi masyarakat adat telah mendapatkan
akses kembali untuk memperjuangkan pemulihan haknya atas hutan adat melalui
proses pengukuhan kawasan hutan sebagai sarana penyelesaian konflik dengan
mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan negara dan mengembalikan statusnya
menjadi hutan adat yang selanjutnya dapat dikelola dengan skema hutan adat. Oleh karena itu maka sangat urgen adanya
perubahan kebijakan dan skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat berdasarkan
kepada Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011, Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dan UU Desa agar
masyarakat memiliki pilihan dalam menentukan skema pengelolaan hutan berbasis
masyarakat yang berada di wilayahnya sesuai dengan karakteristik dan nilai
kearifan lokal masyarakat sendiri, serta masyarakat masih dapat memperjuangkan upaya
pemulihan hak-hak adatnya tanpa dibarengi dengan adanya resiko konflik yang akan
terjadi. Semoga
Penulis : Vino Oktavia, S.H., M.H.
Kaba Timbalun Edisi Khusus 2017
0 Comments
Posting Komentar