[foto: google]
Skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat telah menjadi tumpuan harapan banyak pihak terutama bagi masyarakat yang hidup di dalam maupun di sekitar kawasan hutan yang sangat mengantungkan urat nadi kehidupannya dengan keberadaan sumberdaya hutan. Harapan masyarakat ini telah direspon oleh pemerintah dalam rencana jangka menengah nasional (RJMN) periode 2015-2019. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) berkomitmen untuk mengalokasikan 12,7 hektar kawasan hutan menjadi wilayah kelola masyarakat hingga tahun 2019. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kelestarian hutan dan lingkungan di masa mendatang, serta mensejahterakan masyarakat yang hidup di dalam maupun di sekitar kawasan hutan. Namun perlu diteropong secara hukum agar dapat memberikan kepastian dan akses keadilan terhadap wilayah kelola masyarakat.
[foto: google]

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dikenal juga dengan perhutanan sosial sebenarnya telah banyak dikembangkan melalui skema hutan kemasyarakatan, hutan desa, kemitraan dan berbagai skema lainnya. Pada dasarnya skema ini merupakan distribusi akses kepada masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutan yang telah diatur dalam Pasal 83 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Dalam Pasal 83 ayat (1) dan (2) menyebutkan untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil dapat dilakukan pemberdayaan masyarakat setempat melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan melalui hutan desa, hutan kemasyarakatan atau kemitraan.

Pengaturan teknis pengelolaan hutan berbasis masyarakat sebelumnya telah diatur Permenhut Menteri Kehutanan No.P.88/Menhut-II/2014 tentang Hutan Kemasyarakatan, Permenhut No. P.89/Menhut-II/2014 tentang Hutan Desa, dan Permenhut No. P.39/MenhutII/2013 tentang  Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan. Selanjutnya telah disempurnakan dengan Permen LHK No. P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Dalam Permen LHK ini keberadaan hutan adat yang mendapat pengakuan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2012 juga telah diakamodir sebagai salah satu hutan hak yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Oleh karena itu secara konstitusional masyarakat hukum adat telah diakui sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban dalam mengelola sumberdaya hutan dalam wilayah adatnya. Pengaturan pengelolaan hutan hak termasuk hutan adat secara teknis telah diatur pula dalam Permen LHK No. 32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak serta Peraturan Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan No. P.1/PSKL/Set/KUM.1/2/2016 tentang Tata Cara Verifikasi dan Validasi Hutan Hak. 

Meskipun pengelolaan hutan berbasis masyarakat telah mendapatkan legalitas secara yuridis dan masyarakat memiliki legal standing dalam mengelola sumberdaya hutan di wilayahnya sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangan-undangan di atas. Namun hingga saat ini masih menyisakan berbagai persoalan hukum secara yuridis maupun implementasinya yang dapat menjadi batu sandungan bagi masyarakat dalam mendapatkan akses keadilan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Kondisi ini salah satunya disebabkan karena PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sebagai payung hukum pengelolaan hutan berbasis masyarakat secara yuridis formal sudah tidak memadai lagi dan sudah seharusnya disesuaikan dengan perkembangan produk hukum dengan adanya Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011, Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian maka seharusnya pemerintah telah menindaklanjutinya dengan melakukan revisi terhadap keberadaan PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Bila revisi ini tidak segera dilakukan oleh pemerintah maka akan berdampak langsung bagi masyarakat untuk mendapatkan kepastian dan akses keadilan dalam pengelolaan sumberdaya hutan di wilayahnya. Disamping adanya kekhawatiran akan menimbulkan konflik hukum dan konflik sosial dalam tataran implementasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang telah menjadi target pemerintah saat ini dalam RJMN periode 2015-2019. Bahkan revisi peraturan ini sangat penting dilakukan agar adanya kerangka acuan yang jelas dalam tata kelola dan pemanfaatan hutan di Indonesia termasuk dalam hal ini kerangka acuan dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat dalam kerangka kebijakan dan implementasi harus ditempatkan pada kerangka reformasi agraria dan sumberdaya alam sebagaimana amanat dari TAP. MPR No. IX/MPR/2001 dengan kebijakan refomasi sektor kehutanan lebih ditujukan pada upaya pemulihan hak-hak masyarakat dan penyelesaian konflik sektor kehutanan, serta memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menentukan sendiri (self determination) skema pengelolaan hutan di wilayahnya sesuai dengan nilai kearifan lokal (local wisdom) dan karakteristik wilayahnya tanpa dibatasi dengan skema yang telah ada selama ini. Perubahan kebijakan ini diharapkan membawa angin segar bagi masa depan akses keadilan dan demokratisasi dalam pengelolaan sumberdaya hutan, bukan lagi bersifat parsial dan sektoral, melainkan harus terintegrasi termasuk menginterasikannya dengan keberadaan UU Desa yang menempatkan masyarakat sebagai aktor kunci dalam pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan karakteristik wilayahnya baik desa maupun desa adat atau nama lain;  

Skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang sebelumnya telah diatur Permenhut Menteri Kehutanan No.P.88/Menhut-II/2014 tentang Hutan Kemasyarakatan, Permenhut No. P.89/Menhut-II/2014 tentang Hutan Desa, dan Permenhut No. P.39/MenhutII/2013 tentang  Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan, dan selanjutnya telah disempurnakan dengan Permen LHK No. P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Dari aspek pengelolaan sumberdaya hutan memang dapat dijadikan sebagai solusi alternatif bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya, namun disisi lainnya masih menimbulkan dilema tersendiri bagi komunitas masyarakat adat dalam memperjuangkan pemulihan haknya atas hutan adat yang masih berada dalam kawasan hutan negara, karena berdasarkan Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 eksistensi masyarakat adat telah mendapatkan akses kembali untuk memperjuangkan pemulihan haknya atas hutan adat melalui proses pengukuhan kawasan hutan sebagai sarana penyelesaian konflik dengan mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan negara dan mengembalikan statusnya menjadi hutan adat yang selanjutnya dapat dikelola dengan skema hutan adat. Oleh karena itu maka sangat urgen adanya perubahan kebijakan dan skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat berdasarkan kepada Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011, Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dan UU Desa agar masyarakat memiliki pilihan dalam menentukan skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang berada di wilayahnya sesuai dengan karakteristik dan nilai kearifan lokal masyarakat sendiri, serta masyarakat masih dapat memperjuangkan upaya pemulihan hak-hak adatnya tanpa dibarengi dengan adanya resiko konflik yang akan terjadi. Semoga

Penulis : Vino Oktavia, S.H., M.H.

Kaba Timbalun Edisi Khusus 2017