First
San Hendra Rivai
Koordinator
Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif Sumatera Barat
“Peta
bukan selembar kertas yang berisi titik-titik koordinat, garis-garis yang
terhubung, skala, maupun legenda. Melainkan gambaran legitimasi pemilikan,
penguasaan dan pengelolaan atas wilayah oleh masyarakat, sebagai representasi
atas identitas dan pengetahuan lokal”
Pemerintahan Joko Widodo dalam Nawacita
mengalokasikan 12,7 Juta hektar kawasan hutan untuk perhutanan sosial. Kebijakan
yang diturunkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019 dipandang akan berkontribusi dalam peningkatan ekonomi masyarakat dan
pelestarian hutan. 12,7 Juta hektar, bukan persoalan angka dan alokasi luasan
saja, melainkan erat kaitannya dengan pemenuhan hak ulayat maupun hak kelola.
Perhutanan sosial terdiri dari lima skema yakni hutan desa, hutan
kemasyarakatan, hutan adat, hutan tanaman rakyat dan kemitraan kehutanan. Tentu
menjadi penting bagaimana memastikan 12,7 juta hektar ini dapat diakses oleh
masyarakat menjadi wilayah kelola dan tepat
sasaran.
Wilayah kelola masyarakat dalam kawasan
hutan dan wilayah adat merupakan objek utama dalam perhutanan sosial. Namun,
ada persoalan dalam menunjukkan dimana lokasi sebaran 12, 7 juta hektar yang
dicadangkan oleh Pemerintahan tersebut. Perjalanan perhutanan sosial selama ini
menunjukkan bahwa masyarakat pengusul skema perhutanan sosial yang mengemban
tanggung jawab untuk menunjukkan lokasi usulan mereka, melalui sebuah peta. Peta
menjadi salah satu prasyarat utama dalam pengusulan
perhutanan sosial (Hutan Nagari, Hutan Kemasyakatan dan Hutan Tanaman Rakyat),
serta peta wilayah adat sebagai salah satu alat untuk
menunjukkan keberadaan wilayah kesatuan Masyarakat
Hukum Adat,
dalam pengajuan hutan adat. Peta menjadi pondasi yang akan memperkokoh
penguasaan dan pengelolaan wilayah, maka proses
melahirkan peta tersebut menjadi penentu kekuatan pondasi
tersebut.
Apa itu pemetaan partisipatif! Pemetaan
partisipatif merupakan sebuah metode yang digunakan dalam melahirkan sebuah peta.
Metode ini bukan sekedar memandang peta sebagai produk pengolahan data spasial,
namun peta dipandang sebagai bentuk visual pengetahuan masyarakat terhadap
wilayah. Peta partisipatif dilahirkan dari kesepakatan dan negosiasi penguasaan
atas ruang. Dalam pemetaan partisipatif,
masyarakat ditempatkan sebagai subjek utama pelaksanaan
pemetaan. Hal ini karena masyarakat yang hidup dan bekerja disuatu wilayah
memiliki pengetahuan mendalam mengenai wilayahnya. Sehingga, masyarakat dapat
membuat peta secara lengkap dan akurat terkait dengan sejarah, tata guna lahan,
pandangan hidup dan harapan masa depan terkait dengan wilayah tersebut. Oleh
karena itu, pemetaan partisipatif merupakan metode pemetaan yang efektif
digunakan dalam akselerasi 12,7 juta hektar kawasan hutan untuk perhutanan
sosial.
Membangun Kesepahaman
dan Kesepakatan
Proses membangun kesepahaman dan
kesepakatan menjadi bagian pembuka dalam pemetaan partisipatif guna mendorong
perhutanan sosial. Maka, sangat penting untuk membangun kesadaran ditingkat
masyarakat terutama mengenai apa itu perhutanan sosial; bagaimana skemanya dan
perbedaan antar skema; konsekuensi dan dampak dalam setiap pilihan skema; serta
relasi antara negara dan masyarakat terutama terkait dengan keberadaan hak
kelola dan hak ulayat. Sehingga, keterlibatan semua pihak pada tingkatan
masyarakat, menjadi kunci dalam proses diskusi dan fasilitasi yang bersifat
partisipatif guna mendudukkan kesepahaman ini ditengah masyarakat.
Proses diskusi dalam penyamaan pemahaman
ini biasanya penuh dinamika dan refleksi terkait dengan kondisi materil
masyarakat sendiri. Penggalian potensi, relasi sosial ekonomi dan budaya,
identifikasi permasalahan menjadi esensi dalam forum diskusi. Proses ini
mengandung nilai pembelajaran sesungguhnya pada tingkatan masyarakat. Konklusi
dari proses-proses ini yang kemudian mengantarkan kesepakatan terhadap pililhan
skema yang diambil. Dalam artian kesepakatan lahir dari sebuah proses kedasaran
yang utuh serta melihat keberlangsungan kehidupan bermasyarakat kedepanya.
Oleh karena itu, proses penyamaan
kesepahaman dan kesepakatan dalam pemetaan partisipatif guna mendorong
perhutanan sosial menjadi pintu gerbang yang akan mengantarkan masyarakat
menentukan setiap butiran kesepakatan.
Pelatihan
dan Praktek Pemetaan Partisipatif
Pasca penyamaan pemahaman dan
kesepakatan maka tahapan selanjutnya adalah pelatihan dan praktek pemetaan
partisipatif. Pelatihan ini melingkupi pengenalan peta, pengenalan pemetaan
partisipatif, penggalian pengetahuan lokal terkait dengan wilayah, pengenalan
alat, praktek penggunaan alat.
Pelatihan dan praktek ini merupakan
proses transfer pengetahuan akan peta dan penguatan bagi masyarakat bahwa
masyarakat pun dapat membuat peta berdasarkan sumber daya yang dimiliki oleh
masyarakat. Karena, selama ini peta hanya dipandang sebagai kertas bergambar
dengan garis dan titik yang dominan. Pelatihan dan praktek ini juga dapat
digunakan seagai media dalam penggalian, pengumpulan dan perumusan data sosial
yang nantinya dapat berguna dalam perencanaan pembangunan perhutanan sosial
kedepan. Sisi lain, pelatihan dibungkus dengan semangat pengetahuan lokal dan
penyebarluasan pengetahuan. Maka tidak jarang, disaat pelatihan pemetaan
partisipatif terkadang juga tergali persoalan-persoalan yang mempengaruhi wilayah.
Pelatihan pemetaan partisipatif dapat
menjadi ruang kaderisi ditingkat masyarakat, khususnya pemuda untuk menambah
pengetahuan lokal terkait dengan kewilayahan. Karena, pemuda dipandang sebagai
pihak yang harus dilibatkan dalam pengambilan koordinat lapangan. Sedapatkan
mungkin pemuda terlibat dan berperan aktif dalam pelatihan, sehingga dapat
melahirkan peta sesuai dengan kesepahaman dan kesepakatan bersama.
Selanjutnya, saat pelaksanaan pemetaan
partisipatif peserta diminta untuk mengambarkan wilayah mereka dalam sebuah
sketsa, gambaran wilayah yang selama ini ada dalam pikiran setiap individu
peserta, didialogkan dan dikomunikasikan sehingga menghasilkan sebuah sketsa
yang dapat dipahami bersama. Sketsa yang telah dipahami bersama tersebut,
dijadikan sebagai pedoman dalam pembagian areal kerja pemetaan yang dibagi
berdasarkan jumlah tim yang terbentuk.
Proses pembelajaran selanjutnya adalah
pembekalan penggunaan alat, yang dilakukan sebelum turun kelapangan untuk
pengambilan titik koordinat, seperti penggunaan global positioning system (GPS), serta pembuatan berita acara
pengambilan titik koordinat lapangan.
Pembahasan
Hasil Pemetaan Partisipatif
Setelah pengambilan titik koordinat
lapangan, maka data lapangan dapat diolah secara manual maupun melalui sistem
informasi geografis, guna melahirkan sebuah peta. Peta ini kemudian kembali
didiskusikan dan didialogkan, hal ini dilakukan untuk mencek kembali lokasi
yang pemetaan, mengevaluasi proses pemetaan yang dipandang berakibat pada peta
yang dihasilkan.
Dalam mempermudah masyarakat untuk
mencek peta, maka peta yang dihasilkan dapat dioverlay dengan citra satelit.
Jika kemudian ditemukan adanya hambatan dalam pelaksanaan pemetaan, seperti
lokasi tujuan tidak dapat ditempuh, adapun hambatan lainnya yang berdampak pada
ketidakjelasan batas, ini yang menjadi bahan diskusi. Hasil diskusi akan
menjadi rencana tindak lanjut yang akan dilaksanakan kedepan dengan jadwal yang
sudah ditentukan.
Proses pembahasan hasil pemetaan ini
memperkuat dinamika pengetahuan lokal yang telah berkembang dalam proses
penyamaan persepsi hingga pelaksanaan pemetaan. Kemudian, perlu dilakukan
penyepakatan diinternal masyarakat terkait dengan peta yang hasilkan. Tahapan
berikutnya adalah menyusun langkah strategis dalam menegosiasikan batas sipadan
dengan tetangga.
Urgensi
Pemetaan Partisipatif
Melalui proses pemetaan partisipatif ini harapannya peta yang merupakan salah satu prasyarat utama dalam
pengajuan perhutanan sosial, kemudian
memiliki nilai lebih yaitu sebagai bentuk pengejawantahan
pengetahuan lokal terkait kewilayahan ke dalam
sebuah peta yang akan menjadi basis dari
pemenuhan hak masyarakat. Dinamika yang terjadi dalam
setiap tahapan akan menjadi bagian untuk membangun kesadaran akan wilayah kelola maupun wilayah adat mereka.
Dengan pemetaan partisipatif akan meminimalisir konflik tapal batas baik itu sebelum maupun pasca
izin usaha pemanfataan ataupun setelah keputusan penetapan hutan adat dikeluarkan pejabat berwenang. Peta
hasil pemetaan partisipaitif dapat dijadikan salah satu alat dalam penyelesaian
konflik, terutama konflik yang muncul karena klaim yang berasal dari cerita
ataupun petatah petitih. Klaim yang selama ini bersifat “imajiner”, yang berada
dalam tataran petatah petitih dimunculkan dan ditelurusi melalui proses pemetaan partisipatif.
0 Comments
Posting Komentar