Penulis : Mora Dingin
Berdasarkan data statistik tahun 2014, jumlah penduduk Sumatera Barat yang tinggal didaerah pedesaan atau bersentuhan langsung dengan kawasan hutan mencapai ± 61% atau ada sekitar 517 nagari. Sehingga tingkat kemiskinan masih berkutik dalam angka yang cukup tinggi yaitu 379.609 jiwa atau persentase penduduk miskin di Sumbar secara keseluruhan mencapai 7,31 persen. Lebih dari dua pertiga, atau 68,91 persen, penduduk miskin tersebut tinggal di daerah perdesaan yaitu di dalam dan sekitar kawasan hutan (Baca; Sumbar dalam angka tahun 2014).
[foto:mongabay.com]
Masih tingginya tingkat kemiskinan, tak bisa dilepaskan dari berbagai macam faktor yang mempengaruhinya seperti tingkat kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar masih rendah, sarana prasarana untuk mendukung mobilitas sangat terbatas. Kondisi demikian membuat masyarakat tetap eksis dalam ranah kemiskinan.
Hal lain yang membuat masyarakat selama ini tetap berada dalam kotak pandora kemiskinan adalah minimnya akses masyarakat untuk dapat mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada khususnya potensi sumber daya hutan. Kebijakan yang selama ini dikeluarkan oleh pemerintah cenderung meniadakan atau meminggirkan hak-hak masyarakat atas sumber daya hutan. Sebut saja Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan salah satu pasal didalamnya menegaskan bahwa siapa saja masyarakat yang memasuki kawasan hutan dengan mengambil kayu atau seranting pohon, maka akan dikenakan sanksi pidana kurungan 10 tahun dan denda 5 miliar rupiah (Pasal 78 ayat 2). Bahkan sebelum ada keputusan MK.35 tahun 2012 tentang hutan adat, negara juga setengah hati mengakui keberadaan hutan adat.
Padahal tidak bisa dipungkiri, sejarah telah membuktikan masyarakat yang tinggal di pedesaan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan alam (kawasan hutan). Mulai dari nenek moyang terdahulu telah menggantungkan hidupnya terhadap sumber daya hutan. Bagi masyarakat adat hutan tidak hanya mempunyai fungsi ekonomi semata, melainkan juga fungsi ekologi, sosial bahkan religi. Pada umumnya masyarakat adat mempunyai kearifan lokal dalam mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan. Masyarakat tidak dengan serampangan memperlakukan kawasan hutan, tapi ada nilai-nilai yang selama ini dijadikan sebagai pedoman. Salah satu contoh, masyarakat Adat Malalo Tiga Jurai, Kab Tanah Datar membagi kawasan hutannya menjadi beberapa zona yaitu rimbo larangan, rimbo cadangan dan rimbo olahan. Masyarakat setempat mengambil kayu hanya untuk kepentingan umum, bukan untuk komersial. Selain itu kebiasaan yang ada, setiap individu yang akan melakukan pernikahan ada kewajiban untuk menanam kayu atau tanaman-tanaman tua terlebih dahulu.
Namun lahirnya kebijakan yang selama ini cenderung mengingkari hak-hak masyarakat atas sumber daya alam, maka telah mencerabut kedaulatan masyarakat atas pengelolaan sumber daya alam. Akses yang dimiliki oleh masyarakat atas sumber daya alam telah dipasung dan dikebiri oleh negara selama berpuluh tahun. Tidak adanya akses terhadap sumber daya alam (hutan) menimbulkan kemiskinan ditengah-tengah masyarakat, karena masyarakat tidak bisa dengan mudah mengelola dan memanfaatkan semua potensi sumber daya hutan. Padahal kalau masyarakat punya akses maka potensi sumber daya alam dapat dimanfaatkan dengan baik, tidak menutup kemungkinan akan berdampak kepada tingkat kesejahtraan masyarakat.
Perhutanan Sosial 
Beberapa tahun terakhir pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sangat getol meluncurkan program perhutanan sosial dengan menggunakan skema Hutan Desa/Nagari, Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat serta kemitraan. Perhutanan sosial merupakan program dengan memberikan akses atau hak kepada masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan hutan dengan tujuan untuk pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan kesejahtraan hidup. Untuk mendukung program tersebut KLHK mengeluakan beberapa peraturan (Permenhut) yang mendukung skema-skema tersebut.
Perhutanan sosial merupakan bentuk nyata kalau paradigma negara dalam memandang sumber daya hutan yang selama ini tidak boleh dicampuri oleh masyarakat, kini sudah mulai berubah secara perlahan kearah yang lebih baik dengan memperhatikan dan mempertimbangkan keberlangsungan nasib masyarakat yang berada didalam dan sekitar kawasan hutan. Melalui perhutanan sosial masyarakat diberikan hak untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan selama 35 tahun dan setelah masa izinya habis dapat diperpanjang kembali.
Komitmen pemerintah untuk memberikan hak kelola kawasan hutan kepada masyarakat ternyata tidak taggung-tanggung. Lewat Nawacita presiden Jokowi telah mencadangkan 12,7 juta hektar kawasan hutan diberikan kepada masyarakat, targetan ini akan dicapai hingga tahun 2019 nanti. Propinsi Sumatea Barat juga tidak mau ketinggalan, lewat Dinas Kehutanan Propinsi telah membuat road map perhutanan sosial seluas 500.000 hektar, bahkan informasi terakhir target yang ingin dicapai oleh Propinsi Sumatera Barat hingga 2019 nanti mencapai 700.000 Hektar. Dari data POKJA Perhutanan Sosial Sumbar sudah hampir[A1]  nagari yang mengimplementasikan perhutanan sosial ini dengan berbagai skema yang ada.
Kemandirian Ekonomi
Secara konseptual Kemandirian ekonomi adalah suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah ekonomi yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang dimiliki. Dari konsep ini terlihat bahwa untuk mewujudkan kemandirian ekonomi masyarakat haru mampu untuk memikirkan sesuatu yang tepat dalam menjawab persoalan ekonomi mereka, kemudian harus memutuskan dan segera melakukan sesuatu. Namun semua itu juga tidak luput dari dukungan sumber daya yang bisa digerakan dan digunakan.
Program Perhutanan Sosial yang saat ini sedang menjadi agenda prioritas oleh pemerintah pusat dan daerah dapat menjadi peluang yang sangat baik untuk membangun kemandirian ekonomi dan mengentaskan masalah kemiskinan khususnya bagi masyarakat yang berada di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Melalui perhutanan social dengan pilihan beberapa skema sesuai dengan Permen LHK No. P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya terhadap sumber daya hutan, menjadi legal secara hukum untuk memanfaatkan potensi yang ada. Rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam memanfaatkan potensi dan kekayaan dalam kawasan hutan yang tentu saja tetap dengan memperhatikan fungsi-fungsi kawasan demi keberlanjutan ekosistem kawasan.
Berbagai usaha sesuai dengan potensi yang ada dalam kawasan akan bisa mendapatkan dukungan dari Organisasi Perangkat Derah (OPD) yang terkait dengan usaha yang dilakukan seperti Dinas Peternakan, Perikanan, Perkebunan, Parwisata, Perindustrian, Koperasi dan UKM bahkan pihak perbangkan, karena aktifitas yang dilakukan dalam kawasan sudah mendapatkan izin dari KLHK.
Potensi-potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti rotan, manau, aren, lebah madu, dan potensi HHBK lainnya, kemudian jasa lingkungan seperti air, carbon, tanaman obat-obatan, dan potensi Jasling lainnya serta ekowisata bisa dimanfaatkan oleh masyarakat lewat lembaga pengelolaan hutan atau kelompok tani. Dalam melakukan pengelolaan kawasan hutan sesuai dengan potensinya tersebut maka pihak pemerintah ataupun pihak lain bisa memfasilitasi dalam bentuk pendampingan dan pemberdayaan bagi masyarakat bahkan dukungan pendanaan.
Kebijakan pemerintah yang telah mengalokasikan dana desa bagi setiap desa atau nagari, dimana dana desa ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintahan desa atau nagari untuk untuk mendukung kegiatan-kegiatan pengembangan ekonomi di wilayah-wilayah yang sudah mendapatkan izin dalam bentuk salah satu skema perhutanan sosial, seperti untuk peningkatan kapasitas masyarakat lewat pelatihan-pelatihan dalam mengelola potensi sumber daya hutan bahkan dukungan pendanaan untuk melakukan usaha, sehingga ruang yang sudah dibuka betul-betul dapat membangun kemandirian ekonomi yang berujung kepada meningkatnya kesejahtraan masyarakat.
Nagari Sungai Buluh Kab. Padang Pariaman dan Jorong Simancung, Nagari Alam Pauh Duo, Kab. Solok Selatan yang sudah mendapatkan izin akses dan mengelola kawasan hutan dengan skema Hutan Nagari, dimana saat ini masyarakat di dua nagari tersebut melalui Lembaga Pengelolaan Hutan Nagari (LPHN) telah mulai melakukan pengelolaan kawasan hutan nagari mereka tersebut sesuai dengan potensi yang ada. Faktanya masyarakat dikedua nagari tersebut telah menuai hasilnya. Masyarakat yang biasanya terlibat dalam aktifitas ilegal loging kini telah beralih profesi menjadi pemandu wisata dan mengembangkan berbagai jenis tanaman kehidupan.
Khusus untuk Hutan Nagari Sungai Buluh potensi ekowisata telah dikelola oleh masyarakatnya dan telah mendapat kujungan dari wisatawan lokal bahkan juga nasional. Dengan pemanfaatan potensi jasa lingkungan dalam bentuk ekowisata dalam kawasan hutan nagari mereka tidak hanya memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan namun juga berkontribusi terhadap pelestarian dan terjaganya ekosistem kawasan hutan nagari mereka tersebut. Masyarakat di nagari Sungai Buluh tersebut sudah memikirkan bahwa dengan potensi yang ada dalam kawasan hutan nagari mereka tersebut maka diputuskan yang cocok adalah dengan membangun kawasan ekowisata.
Berkaca dari apa yang sudah dimulai oleh beberapa nagari tersebut maka sudah sepatutnya nagari yang berada disekitar atau didalam kawasan hutan memanfaatkan peluang perhutanan sosial untuk membangun kemandirian ekonomi mereka. Jika 517 nagari yang saat ini berada disekitar dan di dalam kawasan hutan mengambil peluang perhutanan sosial, tidak mustahil akan menjadi jalan untuk terbangunya kemandirian ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan dalam kawasan hutan, serta fungsi dan ekosistem kawasan hutan tetap tejaga,. Seperti kata pepatah adat kita di Minangkabau “bumi sanang, padi manjadi, jaguang maupiah”. Semoga*

 [A1] Berapa nagari yang sudah mengimplementasikan