Tumpukan Debu PLTU Ombilin di Sijantang. Foto: Echi, Maret 2018 |
Batubara masih jadi ‘primadona’ sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia. Menurut data kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat ini sekitar 60% listrik masih disuplai dari tenaga uap. Salah satu PLTU itu ada di kota Sawahlunto tepatnya di Desa Sijantang. Seolah tak bisa dipungkiri bahwa batubara dan Sawahlunto adalah satu kesatuan yang seakan tak bisa dipisahkan Siemas hitam ini masih menjadi cahaya bagi kehidupan Sawahlunto hingga saat ini, konon agar cahaya itu tetap hidup dibangunlah PLTU di Kota Sawahlunto. Awal mulanya pembangkit listrik di kota Sawahlunto berada di kelurahan Kubang Sirakuak Utara, dimana kala itu dibangun oleh Belanda pada tahun 1894 bernama PLTU Mudik Air dengan memanfaatkan aliran Batang Lunto, berkurangnya debit air sungai di pinggir PLTU menyebabkan PLTU ini berhenti beroperasi. Masuknya agresi militer Belanda I dan II ke Sawahlunto PLTU ini berubah fungsi menjadi tempat perakitan senjata para pejuang, dan kemudian pernah juga menjadi rumah hunian pekerja tambang, hingga pada tahun 1952 bangunan induk pembangkit listrik ini dialih fungsikan sebagai Rumah ibadah umat muslim yang lebih kita kenal sekarang dengan nama Masjid Agung Nurul Iman. Kemudian Belanda membangun PLTU penganti di Salak, Talawi pada tahun 1924 yang memanfaatkan aliran sungai Batang Ombilin. Seiring perjalanan usia dan tidak efisien lagi serta untuk operasional yang lebih besar lagi maka PLTU salak di alihkan ke Desa Sijantang.
Sungai yang megalir di belakang PLTU Ombilin di Sijantang. foto: @wartarakyat, Maret 2018 |
Mari kita berbicara mengenai PLTU Ombilin di Sijantang.
PLTU ini berjarak kurang lebih 15 km dari kota Sawahlunto. Pembangunan
konstruksi pertama dimulai pada Tahun 1993 dengan kekuatan 2 x 100 MW. Sejak
kehadirannya di desa Sijantang, ia menimbulkan sejumlah dampak, terutama
masalah mata pencaharian. Dulu desa ini pernah memiliki sebuah masa yang biasa
disebut warga sekitar sebagai “masa jaya”. Hal ini ditandai dengan ekonomi
rakyat yang sangat mencukupi, dan ini mengantarkan asumsi kolektif pada
keberadaan tambang rakyat masa itu. Namun sekarang tidak ada lagi, masyarakat
beralih profesi jadi penambang emas, pasir, dan sebagian besar pemuda memilih
merantau mencari kehidupan di negeri orang.
Kemarin baru saja saya
berkelana ke Desa Sijantang. Perjalanan ini sangat menarik dan menantang.
Selepas melewati jembatan, untuk menuju desa Sijantang kita melewati kondisi
jalan yang tergolong rusak parah, banyak lubang-lubang besar. Belum lagi
debu yang membuat perih mata serta udara yang buruk. Tapi ini seakan hal yang
biasa bagi masyarakat sekitar sana. Saya perhatikan, sebagian besar pengendara
tidak memakai masker maupun helm.
Di tepian sepanjang
jalan sebagian besar daun-daun berselimut debu. Coba saja kita tempelkan jari
tangan ke daun maka debu itu akan tampak pada jari. Belum lagi atap rumah dan
dinding di sekitar PLTU yang terlihat kusam seakan tak berpenghuni.
Kalau orang di bawah
(sisi lain Sijantang) hampir tidak ada yang membuka pintu dan jendelanya,
“sebab jika dibuka nanti sampai piring-piring di rak pun akan hitam semua”,
demikian salah satu penduduk yang saya temui menggambarkan parahnya debu di
sana. Warga yang saya temui di warga sekitar PLTU, bisa dikatakan tidak
keberatan dengan adanya PLTU ini, tidak ada protes atau kekecawaan yang mereka
gumam. Manurut mereka yang banyak merasakan imbas dari PLTU, adalah yang
tinggal di arah angin corong berhembus. Paling yang menjadi keluh kesah
bagi warga yang saya tanyai ini, hanya ketika mesin rusak. Katanya, jika itu
terjadi, maka debu hitam pekat akan sangat menggangu. Pakaian yang terjemur,
apalagi pakaian yang putih, akan cepat kusam dan kelabu.
“jika dikibas, debu itu kelihatan,” tambahnya, “ selain
itu waktu saya naik motor, debu batu bara masuk ke mata, saya kucek-kucek dan
itu membuat mata merah, gata-gatal dan rasa terbakar, karena itulah saya pakai
kacamata, itu sudah lama sekali sekitar 5 Tahun lalu” demikian ujar Buk Eva
salah satu warga yang saya temui di Sijantang.
Tapi ya sudahlah PLTU sudah beroperasi dan menjadi
salah satu sumber penerangan penting di wilayah Sumatera Tengah, yang menjadi
sorotan penting saat ini adalah mengenai limbah PTLU, seperti fly ash (abu
terbang) dan bottom ash (abu dasar). Fly ash merupakan limbah padat berbentuk
partikel halus yang di hasilkan dari pembakaran batu bara PLTU, jumlah yang
dihasilkan sekitar 15-17% dari tiap ton pembakaran batu bara (syafitri, dkk
2009). Sedangkan bottom ash merupakan abu dasar yang partikelnya lebih besar
dari fly ash. Dan peraturan Pemerintah No 101 Tahun 2014 tentang pengeloalan
limbah bahan berbahaya dan beracun keduanya termasuk dalam kategori Limbah B3.
Limbah B3 yang dimaksud adalah singkatan dari Bahan Berbahaya dan Beracun,
semacam zat yang membahayakan kesehatan dan kelangsungan hidup, dan membutuhkan
penanganan khusus. Pengelolaan limbah ini menjadi tanggung jawab penghasil,
yang dalam hal ini adalah PLTU sendiri. Untuk PLTU Sijantang sendiri
menghasilkan limbah yang mencapai 300 ton per harinya.
Tumpukan Debu PLTU Ombilin di Sijantang. Foto: Echi, Maret 2018 |
Lihatlah saat ini
tumpukan limbah abu pembakaran sudah memenuhi separoh PLTU, tumpukan itu
semakin hari semakin menggunung. Dulu tidak seperti ini, ada 2 lokasi tempat
pembuangan abu, salah satunya di tepi Sungai batang Ombilin belakang PLTU,
namun sekarang tidak lagi karena sudah menjadi kawasan hijau. Hal ini
disebabkan oleh tumpukan abu yang pernah jatuh ke sungai batang Ombilin dan
membuat aliran sungai menjadi terhambat dalam beberapa jam.
“pada kejadian tersebut
kami sangat panik dan ada yang memberitahu bahwa desa kami akan tenggelam,
sungai batang ombilin terhambat abu” ujar Bu Eva.
Berawal dari kejadian
tersebut, menurut Bu Eva pihak PLTU menjadi panik dan menjadi sorotan nasional.
Sejak saat itu mulailah berdatangan wartawan, pejabat negara hingga warga asing
untuk mendalami kejadian ini. Setelah peristiwa tersebut, lokasi pembuangan abu
berpindah ke areal tambang dekat Danau Biru Sawahlunto. Abu tersebut dibuang ke
lubang bekas tambang, namun hal ini juga tidak berlangsung lama. Konon, dari
narasi yang tersebar di kalangan warga adanya intrik permainan dalam hal ini,
adanya salah satu niniak mamak (pimpinan kaum dalam konteks adat) yang tidak
mendapat jatah, menggugat PLTU dan tidak memperbolehkan lagi pihak PLTU untuk
membuang abu di sana lagi.
Semenjak itulah
permasalahan limbah ini menjadi sangat rumit, makin hari limbah semakin
bertambah, sementara pembuangan abu terkendala, maka bertumpuklah abu.
Permasalahan ini sudah
sangat menggangu, tumpukan abu yang hanya ditutup terpal – dan itupun sudah
banyak bolongnya, apabila ada angin maka beterbanganlah abu hingga mencapai
areal sungai dan masyarakat sekitar. Sebenarnya upaya untuk mengurangi
penumpukan sudah dilakukan pihak PLTU yaitu bekerja sama dengan PT Semen
Padang, abu ini bisa menjadi salah satu campuran dalam pembuatan semen,
pembuatan batako, serta adanya kerja sama dengan salah satu perusahaan
kontraktor bangunan dan jalan, namun ha ini juga menjadi kendala sebab prosedur
perizinan pengangkutan limbah B3 dari Kantor Lingkungan Hidup (KLH) cukup rumit
dan mahal, hal ini tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh oleh
perusahaan pengguna abu, sampai saat ini kalau tidak salah hanya PT Semen Padang
saja yang hanya memiliki izin dari KLH untuk menggangkut limbah tersebut
(sumbar.antaranews.com). Di sisi lain ada juga masyarakat yang mengambil abu
dari PLTU untuk digunakan sebagai pupuk berbagai tanaman, tapi hal ini tidak
mengurangi limbah, apalah daya masyarakat sekitar, tidak mengantungkan
sepenuhnya hidup pada pertanian, lebih memilih sebagai pekerja tambang dan
merantau ke negeri orang.
Batako dengan campuran debu PLTU Ombiling di Sijantang. Foto: Echi, Maret 2018. |
Beberapa literatur yang
saya baca mengenai limbah B3 batu bara mulai dari Sindo.com, detik.com dunia-energi.com
dan lain lain, sudah sejak lama digunakan di luar negri seperti Amerika
Serikat, China, India dan Jepang menjadikan limbah batu bara sebagai bahan
pembuatan pembuatan jalan, jembatan, paving blok, semen, pupuk dan
sebagainya. Di Pulau Jawa pun sudah banyak dimanfaatkan tapi hanya hitungan
puluhan kilogram saja padahal limbah yang dihasilkan setiap harinya lebih dari
1000 ton .Yang menjadi kendala saat ini di luar pulau Jawa adalah mengenai
perizinan dalam penggangkutan limbah B3, dimana Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 101 Tahun 2014 mengenai limbah batu bara tergolong berbahaya dan
beracun menyebabkan penggangkutan limbah menadi sangat berat dan harus dalam
pengawasan yang ketat, padahal tidak semua limbah tergolong B3, karena beberapa
penelitian yang dilakukan PLN menunjukkan batubara setelah menjadi “by product”
racunnya sudah tidak keluar lagi.
Ini menjadi dilema
tersendiri, menurut saya masalah limbah ini menjadi tanggung jawab pihak PLTU
sepenuhnya. Namun setidaknya kita bisa berkaca atau menarik referensi pada
sejumlah negara yang telah memanfaatkan limbah secara leluasa. Pihak pemerintah
hendaknya membuat regulasi baru mengenai pemanfaatan limbah ini sehingga pihak
PLN bisa menyelesaikan masalah ini, dan tentu juga harus diterapkan dengan
baik. Jika tidak, tentu saran terakhir terhadap masalah ini ialah penutupan
PLTU, ini sangat memungkinkan sejak dibangun, dulunya PLTU ini hanya boleh
beroperasi 30 tahun, sekarang telah memasuki usia 25 tahun. Hal ini tidak akan
terlalu menggangu karena menurut General Manager PLN Sumbar, Bambang Yusuf
mengatakan, tidak berfungsinya PLTU Ombilin tak perlu dikhawatirkan. “Tidak
perlu khawatir akan bergelap-gelap. Walau PLTU Ombilin tidak berfungsi, pasokan
tetap aman karena jaringan PLN antara Sumatera Bagian Tengah telah interkoneksi
dengan Sumatera Bagian Selatan. Jika terjadi kekurangan pasokan listrik, PLN
Sumbagsel (Sumatera Bagian Selatan) bisa mensuplai listrik ke Sumatera Barat,”
terang Bambang di harianhaluan.com.
Tulisan ini merupakan
salah satu hasil dari kegiatan Pendidikan Kader Rakyat “Jurnalisme Warga Sebagai Katalis Gerakan Rakyat
dalam Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup” yang digelar
oleh WALHI Sumatera Barat pada 26-30 Maret 2018.
Tulisan ini sudah dimuat di GubuakKopi.id
0 Comments
Posting Komentar