Penulis : Khalid Saifullah
(Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana F-PRB Provinsi Sumatera Barat.
Hutan merupakan salah satu nikmat Tuhan Yang Maha Esa
yang tidak terhingga bagi hambanya. Nikmat yang diberikan_Nya ini sudah
semestinya juga dijadikan sebagai amanah, sehingga menjadi kewajiban untuk
menjaganya untuk tetap selalu ada karena keberadaannya tidak hanya untuk sesaat
akan tetapi menjadi bagian yang tidak berdiri sendiri karena saling punya
keterkaitan dengan makhluk hidup yang ada dipermukaan bumi dan keberlanjutannya.
Jika kita lihat dalam Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,
disebutkan bahwa Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan[1]. Dari pengertian ini jelas
bahwa hutan itu merupakan sebuah kesatuan ekosistem dan tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan yang lain. Jika salah satu bagian dari ekosistem itu
terganggu bahkan jika sampai rusak atau hilang maka sudah pasti akan berdampak
kepada yang lainnya.
Pasal 6 Undang-undang No. 41
tahun 1999 disebutkan bahwa hutan berdasarkan fungsi terbagi atas 3 (tiga)
yaitu Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Hutan konservasi adalah
kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Sedangkan Hutan lindung
adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Dalam kedudukannya sebagai salah
satu penentu sistem penyangga kehidupan, kawasan hutan juga memberikan manfaat
yang sangat besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestarian
dan keberlanjutannya. Hutan tidak hanya mempunyai peranan sebagai penyerasi dan
penyeimbang lingkungan dimana dia berada akan tetapi juga bagi lingkungan
global, sehingga keterkaitannya dengan belahan dunia lain juga menjadi sangat
penting.
Sedemikian pentingnya peranan
hutan bagi lingkungan sehingga perlu diurus, ditata dan dikelola dengan benar.
Sehingga sesuai dengan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
landasan konstitusional Negara Republik Indonesia bahwa “bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Jelas dalam konstitusi kita dinyatakan bahwa posisi Negara
dalam hal ini hanyalah penguasaan yang kegunaannya juga kemudian adalah untuk
kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh Negara bukan merupakan pemilikan,
akan tetapi Negara memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan
mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil
hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan;
mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan
hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada
pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan.
Sumatera Barat berdasarkan
SK Menhut No.
35 tahun 2013 tentang penunjukan
kawasan hutan 56% (2.380.057
hektar), ini lebih dari setengah
wilayah daratan Sumatera Barat. Lebih dari 50% dari kawasan hutan tersebut memiliki
fungsi konservasi dan lindung, sisanya sebagai hutan produksi. Memang jika
dilihat pada dokumen laporan RTRW Provinsi Sumatera Barat lebih dari 50%
merupakan daerah dengan kelerengan sedang sampai sangat terjal.
Data Kementerian Kehutanan tahun 2007 menunjukkan
bahwa dari 1.013 nagari (57,17% dari total jumlah nagari di Sumbar) berada di
dalam dan di tepi kawasan hutan, dimana 518 nya berada dalam kawasan hutan.
Nagari-nagari tersebut diantaranya berada
di dalam kawasan hutan
konservasi, hutan lindung, atau hutan produksi.
Nagari-nagari ini sudah ada jauh sebelum penunjukan kawasan tersebut sebagai kawasan
hutan. Keberadaan masyarakat dan nagari-nagari tersebut di dalam dan sekitar
hutan tentunya tidak hanya sekedar bertempat tinggal akan tetapi juga diikuti
dengan berbagai aktivitas pemenuhan kebutuhan keberlanjutan dan penghidupan
mereka. Hutan tidaklah hanya sebagai ruang kelola namun juga merupakan sebagai penyangga dan keberlanjuta
kehidupan bagi mereka.
Penunjukan kawasan hutan oleh
negara menimbulkan konsekuensi
negatif bagi keselamatan dan
ruang hidup masyarakat nagari-nagari tersebut. Penunjukan
kawasan hutan memunculkan
kekhawatiran akan penggusuran, kriminalisasi, dan perampasan ruang hidup warga
di nagari-nagari itu.
Penunjukkan kawasan hutan oleh negara berpotensi mendorong penurunan kualitas
kawasan yang berujung pada meningkatnya kerentanan wilayah terhadap ancaman
bencana ekologis seperti banjir, banjir bandang, longsor dan bahkan kekeringan.
Ini nyata karena pengurus dan
penyelenggara negara dari pusat sampai daerah dengan dasar penunjukan status
kawasan tersebut kemudian memberikan hak pengelolaan kepada
perusahaan-perusahaan, yang bahkan tidak jarang mengabaikan keberadaan
masyarakat yang sudah berada, mengelola, dan memanfaatkan kawasan tersebut
sebagai ruang hidup mereka, serta mengabaikan kerentanan yang akan meningkat
diwilayah tersebut.
Jika melihat data Pusdalops
Provinsi Sumatera Barat tahun 2012, ternyata terjadi peningkatan intensitas
kejadian banji, banjir bandang dan longsor di Provinsi Sumatera Barat dengan
kisaran 18% – 22%. Kejadian ini telah mengakibatkan kerugian bagi masyarakat
berupa hilangnya nyawa, luka-luka dan rusaknya asset penghidupan berupa rumah
dan areal pertanian mereka.
Keluarnya kebijakan pengurus
dan penyelenggara negara terkait Pengelolaan
Hutan
Berbasis
Masyarakat
yang sekarang disebut dengan
Perhutanan Sosial (P.83/MELHK.SETJEN/KUM.1/10/2016) sedikit memberikan angin
segar meskipun ini lebih kepada mau tidak mau harus menjadi pilihan yang harus
diambil oleh masyarakat. Walaupun belum memberikan jaminan kepastian secara tegas
akan keberadaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan namun ini menjadi
peluang untuk menghentikan dan atau menghindarkan masyarakat untuk tergusur dan
dikriminalisasi di ruang hidup yang telah dikuasai dan ditempati.
Melalui ruang yang ada ini,
dimana masyarakat mendapatkan kesempatan untuk juga mendapatkan akses untuk
mengelola kawasan hutan baik pada kawasan yang berfungsi lindung dan Produksi
bahkan juga menjadi hutan hak dengan status hutan adat.
Masyarakat yang secara sosial
dan budaya sudah memiliki kearifan dalam mengelola hutan disekitar tempat
tinggal mereka. Mereka tahu dan menyadari ada daerah-daerah tertentu dari
kawasan hutan di sekitar tempat mereka tingggal dan beraktifitas harus dijaga
dan dipertahankan. Di masyarakat dikenal “istilah
rimbo larangan” yaitu hutan yang menurut aturan adat tidak boleh ditebang
karena fungsinya yang sangat vital sekali sebagai tempat persediaan air
sepanjang waktu untuk keperluan masyarakat, selain itu kayu yang tumbuh di
hutan juga dipandang sebagai perisai untuk melindungan segenap masyarakat yang
bermukim di sekitar hutan dari bahaya tanah longsor.
Melalui skema Perhutanan Sosial
yang ada saat ini masyarakat diberikan tanggungjawab langsung untuk menata dan
mengelola kawasan hutan dengan tidak hanya mengedepankan kepentingan ekonomi
saja akan tetapi juga memperhatikan kepentingan lingkungan dan keselematan
mereka. Melalui pilihan skema perhutanan sosial proses pendampingan dan
penguatan terhadap masyarakat akan memberikan peluang untuk membuat kondisi
kawasan yang sudah mulai menurun kualitas dapat ditingkatkan sehingga secara
langsung juga berkontribusi dalam mengurangi kerentanan wilayah terhadap
ancaman bencana banjir, banjir bandang dan longsor.
Dalam PERKA No. 2 tahun 2012
tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, untuk melihat kerentanan itu
dapat dilihat dari 4 aspek yaitu ; aspek fisik, aspek sosial, aspek ekonomi dan
aspek ekologi/lingkungan. Indikator yang digunakan untuk melihat kerentanan
lingkungan adalah penutupan lahan (hutan lindung, hutan alam, hutan
bakau/mangrove, rawa dan semak belukar). Semakin bagus tutupan lahan pada
kawasan apakah di hulu, bantaran, kelerengan dan daerah tangkapan air dari
sebuah aliran sungai, maka semakin rendah kerentanannya yang berarti kemampuan
wilayah tersebut dalam menjalankan fungsi-fungsi alamnya seperti sebagai
penyangga, penyimpan dan pensuplai air semakin baik dan bahkan secara global
juga akan berkontribusi dalam menekan laju perubahan iklim.
Namun demikian juga sebaliknya,
jika masyarakat ketika sudah mendapatkan akses dan ruang kelola melalui skema
Perhutanan Sosial ini dalam mengakses dan mengelola kawasan hutan jika tidak
memperhatikan keberlanjutan fungsi-fungsi alam sesuai dengan kondisi
wilayahnya, maka justru akan meningkatkan kerentanan wilayah tersebut yang
kemudian akan bermuara pada bencana. Pada akhirnya yang akan menanggung risiko
dan kerugian adalah masyarakat itu sendiri.
Besar
harapan bahwa dengan skema-skema yang ada dalam Perhutanan Sosial yang ada saat
ini, tidak hanya akan menjadi ruang bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat sekitar dan dalam kawasan hutan, akan tetapi juga akan menjadi ruang
bagi masyarakat untuk memastikan keselamatan mereka dari ancaman bencana dengan
tetap mempertahankan fungsi-fungsi alam pada kawasan hutan yang mereka dapatkan
akses dan hak kelola atau hak milik melalui skema Perhutanan Sosial dalam
bentuk hutan adat.
0 Comments
Posting Komentar