Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayatnya dalam UUPA.

Pengakuan hak masyarakat hukum adat terkait dengan sumber daya alam diantaranya diatur dalam Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA)
Yang menyatakan hal yang sama dengan UUD RI 1945, Pasal 3 UUPA menyebutkan:

‘...hak ulayat dan hak – hak yang serupa itu dari masyarakat – masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi’

Kemudia yang tidak jauh berbeda juga dijelaskan dalam pasal 5 UUPA yang berbunyi :
“hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas kesatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama’

gambar : google

Berdasakan ketentuan diatas, negara melegitimasi keberadaannya sebagai sumber tunggal kepemilikan sumber daya alam dan agraria, memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan apakah masyarakat adat masih eksis atau tidak serta mengambilalih sumber daya alam dari masyarakat hukum adat dengan mematikan hak ulayat (marcus colshester dkk, 2006).

Secara operasional, pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam UUPA diterjemahkan dalam Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang mengatur tata cara pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat dengan terlebih dahulu dilakukan penelitian tentang eksistensi keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan diakui dalam bentuk peraturan daerah. Namun Permenag ini dinilai tidak mampu menjawab persoalan inti konflik agraria yaitu tanah – tanah yang sudah dikuasai oleh negara dan pihak swasta dalam bentuk HGU (Noer Fauzi, 2012). Hal ini terlihat dalam Pasal 3 yang menyebutkan :
Pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 tidak dapat lagi dilakukan terhadap bidang – bidang tanah yang pada saat ini ditetapkannya peraturan daerah sebagaimana dimaksud pasal 6 :

a)   Sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah        menurut Undang – Undang Pokok Agraria;
b) Merupakan bidang – bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah

Perampasan tanah – tanah ulayat oleh negara dan pihak swasta disebabkan oleh lemahnya prosedur pengakuan dan prosedur penyerahan tanah ulayat kepada negara yang tidak partisipatif serta tanpa persetujuan informasi yang jelas tentang konsekuensi konversi hak ulayat menjadi tanah negara. Ketidakamanan hak ulayat masyarakat hukum adat di dalam UUPA dan Permenag 5/1999 diperkuat dengan pengaturan hak guna usaha (HGU) digunakan sebagai alas hak bagi investasi pertanian, peternakan dan perkebunan skala besar yang dilegitimasi oleh kekuasaan hukum nasional. Dalam pasal 28 ayat (1) menyebutkan :

“Hak guna usaha adalah hak untuk menguasakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan’

Pasal 28 (1) UUPA menjelaskan bahwa HGU hanya dapat dilakukan diatas tanah yang dikuasai oleh negara (tanah negara). Oleh karenanya, untuk bisa diberikan HGU diatas tanah ulayat, maka terlebih dahulu mengkonversi tanah ulayat masyarakat hukum adat menjadi tanah negara. Hal tersebut terutama terkait dengan mekanisme perizinan investasi perkebunan skala besar yang mengharuskan konversi tanah ulayat menjadi tanah negara, sehingga baru dapat dibebankan HGU untuk badan hukum yang melakukan investasi. Merujuk pada pasal 28 (1) UUPA maka ketika pada tanah tersebut sudah dibebankan HGU di atasnya itu menunjukkan bahwa tanah tersebut sudah  bukan hak ulayat masyarakat hukum adat lagi.

Konflik Hak Tenure Masyarakat Hukum Adat dan Penanaman Modal di Sumatera Barat
Relasi antara Masyarakat Hukum Adat dengan pihak yang ingin dan akan mengelola serta memanfaatakan kekayaan alam di Sumatera Barat yang secara adat berada dalam wilayah tenurial Masyarakat Hukum Adat pada umumnya dari tahun ke tahun diwarnai dengan konflik yang berkepanjangan. Konflik-konflik tersebut sebahagian besar bernuansa vertikal antara masyarakat adat dengan negara dan atau pemilik modal. Konflik ini paling banyak pada sektor perkebunan, pertambangan dan kehutanan. Sektor perkebunan menempati jumlah terbanyak terutama di perkebunan kelapa sawit.
Seiring dengan semakin banyaknya juga izin usaha pertambangan yang dikeluarkan oleh penyelenggara daerah di Kabupaten Kota sebelum berlakunya UU No. 23 tahun 2014 tentang  Pemerintahan Daerah, konflik-konflik yang terjadi juga meningkat di sektor pertambangan ini di Sumatera Barat yang menyebar di beberapa kabupaten kota pusat perkebunan dan pertambangan.
Jika dilihat dan diurut kemudian ternyata konflik yang terjadi tidak terlepas dari akibat penyelenggara daerah yang seperti mengaminkan upaya “memplintir” perjanjian siliah jariah yang dianggap sebagai persetujuan pelepasan hak ulayat dari masyarakat hukum adat sehingga kemudian dijadikan dasar untuk mengkonversi hak ulayat menjadi tanah negara. Padahal secara prinsip “siliah jariah” ini dilakukan adalah dalam kerangka untuk mengamankan tanah ulayat dan hak terhadap Ulayat mereka yang mana dengan perjanjian “siliah jariah” ini maka kepemilikan mereka atas tanah ulayat tidak lepas. Namun dengan dasar perjanjian “siliah jariah” penyelenggara negara di daerah kemudian memberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan dan atau pihak lain untuk menguasai, mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam yang ada dalam ulayat Masyarakat Hukum Adat tersebut. Ini semesitinya sudah bertentangan dengan pasal 28 ayat (1) UU No. 5 tahun 1960. Masyarakat Hukum Adat kemudian juga tidak mendapatkan penjelasan yang cukup untuk memahami bahwa HGU itu hanya bisa diberikan di atas tanah Negara dan tidak bisa di atas tanah hak milik kecuali pemilik sudah melepaskan haknya, sebagaiman di atur dalam Peraturanan Pemerintah No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
Sementara itu pada sektor kehutanan, konflik muncul akibat terjadinya penunjukkan dan penetapan sepihak kawasan hutan oleh penyelenggara negara baik daerah maupun pusat yang kemudian dengan dasar penunjukkan dan penetapan sepihak tersebut penyelenggara negara dan daerah memberikan hak pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan yang ada diatas kawasan yang ditunjuk dan ditetapkan tersebut kepada perusahaan-perusahaan dan atau pihak lain.
Tuntutan dari Masyarakat Hukum Adat pada konflik yang terjadi adalah pengembalian tanah ulayat mereka pasca pemanfaatan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Selain pengembalian tanah, masyarakat adat juga menuntut bagi hasil pemanfaatan kekayaan alam diatas dan dalam tanah yang sedang dan atau yang sudah dikelola oleh perusahaan-perusahaan tersebut.
Negosiasi-negosiasi pengembalian tanah ulayat serta hak pengelolaan terus dilakukan masyarakat adat terhadap perusahaan yang ada di Sumatera Barat, namun belum ada satu pun yang berhasil. Hal ini disebabkan posisi masyarakat hukum adat dilemahkan oleh peraturan perundang-undangan, sementara peraturan perundang-undangan  seolah-olah berpihak kepada penanam modal.

Pangakuan Hak Ulayat masyarakat hukum adat di Sumatera Barat
Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari pasal 1 angka (7) menyebutkan bahwa nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat. Untuk memperkuat pengaturan pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat atas tanah, maka kemudian dilahirkan Perda No. 16 tahun 2008 tentang tanah ulayat dan pemanfaatannya.
Pada konteks Sumatera Barat terkait dengan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat ada beberapa peraturan yang mengakomodir tentang pengakuan terhadap hak – hak masyarakat hukum adat diantaranya :
1. Peraturan daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 Tentang pokok – pokok pemerintahan nagari (perda nagari);
2. Peraturan daerah provinsi sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tetang tanah ulayat dan pemanfaatannya (perda tanah ulayat);
3. Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor21 Tahun 2012 Tentang Pedoman dan Tata Cara Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Penanaman Modal (Pergub 21/2012)

Perda No. 16 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya merujuk pada Permenag 5/1999 oleh karena itu perda ini mengikuti semua tahapan pengakuan yaitu didahului dengan riset eksistensi hak ulayat dan pengakuan melalui perda. Perda ini menjelaskan detail terkait dengan jenis hak/penguasaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yaitu dari unit kaum, suku dan nagari yang mengambarkan bahwa (1) sistem penguasaan tanah ulayat mengadopsi sistem penguasaan matrilineal / berdasarkan sistem hukum adat Minangkabau, (2) tanah ulayat kaum dan suku adalah tanah milik adat yang berdimensi perdata-tanah milik kolektif, dan (3) tanah nagari adalah tanah ulayat dalam arti hak ulayat yang berdimensi publik dalam UUPA.
Persoalan pengakuan tanah ulayat nagari terletak pada pendaftaran dalam sistem pendaftaran tanah nasional yang tidak mengenal pendaftaran tanah ulayat nagari dan hanya mengenal tanah milik-termasuk tanah milik adat. Kemudian oleh perda disebutkan bahwa tanah ulayat dapat didaftarkan dalam bentuk HGU, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, artinya Perda No. 16 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya memaksakan tanah ulayat nagari di daftarkan menjadi hak – hak atas tanah dalan UUPA yang kemudian menjadi tumpang tindih dengan tanah negara sebagai sumber hak bagi HGU dan berpotensi besar terhadap penghilangan hak ulayat masyarakat hukum adat yang komunal.
Sedangkan Pergub No. 21 tahun 2012 tentang Pedoman Tata Cara Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Penanaman Modal, merujuk pada bagian pengaturan pemanfaatan tanah ulayat dalam perda No. 16 tahun 2008, selain mengatur tata cara pemanfaatan pergub ini juga mengatur tentang pengembalian tanah ulayat setelah habisnya masa berlaku HGU kepada masyarakat hukum adat yang berbunyi :
      (1)   Dalam jangka waktu yang disepakati untuk pemanfaatan tanah ulayat dalam rangka penanaman modal telah berakhir, maka pemerintah daerah bersama pejabat berwenang melakukan pemulihan tanah ulayat kepada status semula;
     (2)   Pemulihan tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pendelegasian kewenangan penguasaan atas tanah tersebut oleh pemerintah daerah kepada pemerintah nagari untuk diteruskan kepada pemilik atau penguasa tanah ulayat semula;
      (3)   Jika tanah tersebut berasal dari tanah ulayat nagari maka pemulihan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi tanah ulayat nagari sebagai harta kekayaan nagari untuk sumber pendapatan nagari dan tanah tersebut tidak dapat dibagikan kepada kaum dan suku di nagari;
     (4)   Dalam pemulihan tanah ulayat sebagaimana diamksudkan pada ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) hak – hak keperdataan pihak ketiga tetap diperhitungkan sesuai ketentuan perundang – undangan;
    (5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pemulihan tanah ulayat diatur oleh bupati/walikota setempat dengan peraturan kepada daerah.

Pemulihan hak ulayat dalam peraturan ini merupakan peluang untuk penyelesaian konflik – konflik yang terjadi, namun disisi lain pengembalian tanah ulayat tidak mengembalikan status tanah ulayat dari tanah negara, karena baik itu di UUPA dan Permenag 5/1999 tidak mengatur pengembalian tanah ulayat yang telah dikonversi menjadi tanah negara. Pemulihan hak ulayat tidak mempersoalkan dikotomi tanah negara – tanah ulayat, karena nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat juga sebagai unit pemerintahan yang mempunyai hak asal usul.

Pemulihan hak ulayat adalah pengembalian tanah kepada pengemban/pemilik tanah ulayat yang tanah ulayatnya telah di konversi menjadi tanah negara, baik itu kaum, suku dan nagari. Memang pergub 21/2012 ini belum tuntas dalam menjamin kepastian hak atas tanah – tanah yang telah di konversi menjadi tanah negar karena tidak menegaskan status tanah negara menjadi tanah ulayat.

Posisi hukum Masyarakat hukum adat dan haknya dalam pemanfaatan tanah ulayat untuk investasi dalam Perda No. 2 Tahun 2007, Perda No. 16 tahun 2008 dan Pergub No. 21 tahun 2012
Masyarakat hukum adat di Sumatera Barat berada pada unit nagari yang mempunyai hak asal usul berupa ulayat nagari dan berwenang menyelenggarakan urusan pemerintahan di tingkat nagari. Oleh sebab itu, dalam kegiatan investasi yang mencakupi wilayah ulayat nagari harus meminta persetujuan masyarakat nagari. Sedangkan, pemanfaatan tanah – tanah ulayat kaum dan suku dikuasai oleh kaum dan suku sebagai bagian dari kesatuan masyarakat hukum adat yang berada di nagari. Oleh sebab itu, dalam kegiatan investasi yang mencakupi wilayah kaum dan suku harus meminta persetujuan seluruh anggota kaum dan suku;

Semua pemanfaatan tanah ulayat untuk investasi merujuk pada rezim perizinan. Oleh sebab itu negosiasi pemangku hak ulayat dengan investor mesti dilakukan setelah izin lokasi diterbitkan oleh pemerintah daerah. Pengaturan tersebut berkonsekuensi pada konversi tanah ulayat menjadi tanah negara dengan mekanisme konsolidasi tanah – tanah ulayat menjadi tanah negara. Artinya pengaturan yang menyebutkan bahwa ada perubahan status hak ulayat dalam pemanfaatan tanah ulayat untuk investasi dalam perda No. 16 tahun 2008 dan Pergub No. 12 tahun 2012 tidak efektif berlaku. hal tersebut diakibatkan oleh tidak adanya mekanismen pemanfaatan khusus tanah ulayat untuk investasi perkebunan selain pemberian HGU;

Pergub No. 21 tahun 2012 belum mampu menjamin keamanan tenurial atas tanah – tanah ulayat ketika digunakan untuk investasi oleh perusahaan dan atau pemilik modal karena lemahnya posisi hak ulayat masyarakat hukum adat dalam UUPA dan rezim hukum perizinan. Hal tersebut terjadi karena Pergub No. 21 Tahun 2012 ini hanya menjamin status hak ulayat sebelum investasi dijalankan dan pengembalian tanah – tanah setelah HGU berakhir dengan tidak memisahkan status tanah negara dengan tanah ulayat artinya Pergub No. 21 Tahun 2012 tidak memasuki ranah krusial untuk menghambat penghancuran hak ulayat melalui konversi tanah ulayat menjadi tanah negara dalam investasi.

Pergub No. 21 Tahun 2012 ini sebagai pengaturan yang mengatur pedoman pemanfaatan tanah ulayat bagi kepentingan investasi mesti dijalankan oleh investor dalam menginvestasikan modalnya di Sumatera Barat, pengabaikan tata cara investasi berdasarkan Pergub No. 21 Tahun 2012 berakibat pada batalnya izin investasi. Artinya (1) mekanisme pemanfaatan tanah ulayat mensyaratkan persetujuan masyarakat adat, termasuk terkait pola pemanfaatan tanah – tanah yang akan menjadi tempat investasi tersebut melalui perjanjian tertulis (2) pemulihan hak ulayat pada tanah – tanah bekas HGU adalah prasyarat dalam melakukan investasi.

Kesimpulan
Pengaturan tentang pengakuan hak ulayat dalam UUPA diterjemahkan lebih lanjut oleh Perda No. 16 tahun 2008 tersebut dilemahkan oleh (1) pengaturan sektoral dalam berbagai UU pengelolaan sumber daya alam sehingga pengakuan ulayat terbatas pada objek tanah saja, (2) pengaturan pendaftaran tanah – tanah ulayat yang mendorong pada konversi tanah ulayat menjadi hak – hak atas tanah dalam UUPA sehingga menghilangkan status hak ulayat menjadi tanah negara.

Pengaturan pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan investasi dalam Perda No. 16 tahun 2008 dan Pergub No. 21 tahun 2012 dengan menggunakan mekanisme perjanjian penyerahan tanah antara masyarakat hukum adat dengan pengusaha dan penggunaan prinsip – prinsip hukum adat rentan termanipulasi karena (1) biasnya tanah negara dengan tanah ulayat dalam pengaturan pengakuan Perda No. 16 tahun 2008, (2) penggunaan prinsip – prinsip hukum adat yang dipersyaratkan dalam perjanjian penyerahan tanah adalah bagian dari mekansime perizinan yang mensyaratkan konversi tanah ulayat menjadi tanah negara (3) Gap pengetahuan terhadap konsekuensi hukum antara masyarakat hukum adat dengan pengusaha dalam hal merumuskan perjanjian tidak menjamin kepastian hukum terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat.

Lemahnya pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam Perda No. 16 tahun 2008 dan Pergub No. 21 tahun 2012 terhadap persoalan hukum nasional yang tidak menjamin kepastian hak ulayat dalam proses pendaftaran tanah dan mekanisme pemanfaatan tanah untuk kepentingan investasi.

Pemulihan tanah ulayat tidak mengembalikan status tanah ulayat dari tanah negara, tetapi hanya mengatur penguasaan kembali tanah – tanah bekas konsesi HGU kepada masyarakat hukum adat. Hal tersebut disebabkan oleh belum diaturnya pengembalian tanah ulayat dari status tanah negara di level undang- undang.

Masih terdapatnya perbedaan persepsi tentang (1) status tanah ulayat yang dimanfaatkan untuk kepentingan investasi. Bagi pemerintah dan pengusaha bahwa tanah – tanah yang dimanfaatkan adalah tanah negara karena telah dikonversi tanah ulayat menjadi tanah negara sehingga tidak ada kewajiban untuk menghormati hak ulayat, hukum adat dan kepentingan – kepentingan masyarakat hukum adat atas tanah – tanah yang dimanfaatkan tersebut. Disisi lain, masyarakat hukum adat masih memandang bahwa, tanah – tanah yang dimanfaatkan oleh pengusaha masih berstatus tanah ulayat karena berdasarkan hukum adat, tanah – tanah tersebut dimanfaatkan sementara artinya pemulihan hak ulayat tidak sepenuhnya didukung oleh pemerintah dan pengusaha.

Saran
Untuk memberikan kepastian dan jaminan terhadap hak tenure dari masyarakat hukum adat di Sumatera Barat maka:
1.  Pemerintah daerah harus mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat melalui peraturan daerah.
2.  Harus dilakukan perubahan pengaturan tentang pendaftaran tanah yang mengakomodir hak ulayat dalam sistem pendaftaran untuk menjamin kepastian hukum di level peraturan pemerintah.
3.  Revisi terhadap peraturan tentang perizinan / pemanfaatan tanah untuk investasi pada level UU sampai dengan peraturan pelaksananya.
4. Perlu mendorong pemulihan hak ulayat melalui perda dan peraturan bupati ditingkat kabupaten sebagai upaya penyelesaian konflik vertikal agraria.
Penyamaan persepsi antar pemangku kepentingan tentang pengakuan, perlindungan dan penghormatan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan investasi dan pemulihan hak ulayat pada tanah – tanah bekas konsesi HGU.


Penulis : Nora Hidayati
Perkumpulan Qbar