Walhi Sumatera Barat, pada jum’at 18 Oktober 2019 yang lalu menyelenggarakan diskusi publik tentang Satu Tahun Implementasi Inpres Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Barat. Secara khusus, diskusi publik tersebut ditujukan untuk melihat Peluang dan Tantangan Penyelesaian Konflik Perkebunan Kelapa Sawit melalui Agenda Moratorium dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Barat.  

Diskusi dipandu oleh Manajer Pengembangan Ekonomi Komunitas WALHI :  Ahmad Farid. Mengawali diskusi, Peneliti Walhi Sumatera Barat Wengki Purwanto memaparkan: Pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar oleh perusahaan[1] telah melewati fase tiga dasawarsa di Sumatera Barat. Sejak awal hingga pada usia tiga dasawarsa tersebut, perkebunan kelapa sawit juga telah memicu konflik. Saat ini tercatat 46 konflik melibatkan 23 perusahaan perkebunan kelapa sawit. Konflik tersebut tersebar di Kabupaten Solok Selatan, Pesisir Selatan, Dharmasraya, Sijunjung, Agam dan Pasaman Barat. Konflik yang terjadi berkaitan dengan pelanggaran hak-hak tenaga kerja (2 konflik), ketidak jelasan tapal batas HGU (4 konflik), Perjanjian Plasma Inti / Bapak Angkat – Anak Angkat yang tidak terealisasi (16 konflik), HGU diatas tanah ulayat (16 konflik), wanprestasi perjanjian perusahaan atas pemanfaatan tanah ulayat tanpa ganti rugi (1 konflik), Pengelolaan HGU terlantar oleh kelompok tani (1 konflik), dan kerusakan lingkungan oleh operasional perusahaan dan perkebunan kelapa sawit ( 6 konflik). Dari studi yang dilakukan oleh Walhi Sumbar, setelah tiga dasawarsa rata-rata konflik masih terus berlangsung dan belum selesai. Data konflik tersebut menunjukkan ada persoalan serius pada tatakelola dan perizinan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Barat. Olehnya, kami merekomendasikan kepada Pemerintah Daerah di Sumatera Barat, agar membentuk Tim Penyelesaian Konflik yang terintegrasi dengan Tim Moratorium dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit. Inpres 8 tahun 2018, dimungkinkan sebagai salah satu wadah pengembalilan hak-hak masyarakat adat, memberikan kepastian hukum, dan memulihkan kerusakan Lingkungan.  

Bpk Agustian, Narasumber dari Dinas Tanaman Pangan Hortkultura dan Perkebunan Provinsi Sumatera Barat menyampaikan, tatakelola perizinan sektor perkebunan masih banyak masalah, diantaranya : Pemberian izin usaha perkebunan yang masih kurang persyaratan, namun izin tetap diterbitkan, IUP yang terbit dikabupaten tidak dilaporkan ke Provinsi melalui dinas yang membidangi perkebunan, izin tumpang tindih, masih banyak perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban, seperti membangun kebun masyarakat, dan pemberian usaha perkebunan belum diikuti dengan pengawasan dan pengendalaian yang memadai. Untuk menyelesaikan permasalah tersebut upaya yang penyelesaian yang ditawarkan antara lain : melaksanakan evaluasi kinerja dan penilaian usaha perkebunan, pengawasan dan pengendalian perizinan, sinkronisasi data perizinan yang meliputi izin lokasi, IUP, HGU, Pelepasan Kawasan Hutan dll, pengumpulan dan verifikasi data dan peta izin lokasi, IUP dan STDUB, merealisasikan kewajiban fasilitasi kebun masyarakat minimal 20% dari luasi IUP. Harus diakui, kendala implementasi Inpres 8 tahun 2018 di daerah adalah tidak tersedianya anggaran yang memadai dan kurangnya SDM.

Narasumber ketiga, Indra Utama, AP. Msi Kepala Bidang Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan DPMPTSP Provinsi Sumatera Barat menyampaikan data IUP Kelapa Sawit di Sumatera Barat tersebar di: Kabupaten Pasaman Barat 23 IUP, Agam 4 IUP, Solok Selatan 5 IUP, Dharmasraya 15 IUP dan Pesisir Selatan 10 IUP. Sejak tahun 2017, Dinas Penanaman Modal dan PTSP belum menerbitkan izin usaha perkebunan, moratorium penerbitan IUP Kelapa Sawit tersebut telah sesuai Inpres 8 tahun 2018. Selain itu, DPMPTSP Provinsi Sumatera Barat melalui satgas percepatan berusaha memfasilitasi pengaduan dan permasalahan dari masyarakat atau pemilik ulayat maupun dari pengusaha serta melakukan konfirmasi status lahan pada BPN Provinsi dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar. Pada tahun 2019, DPMPTSP telah menerima 3 pengaduan permasalahan IUP perkebunan kelapa sawit dan telah melakukan beberapa upaya untuk penyelesaianya, yaitu : Pertama, permasalahan antara masyarakat maligi dengan PT Permata Hijau Pasaman, Kedua, Permalasahan antara Penguasa Tanah Ulayat Nagari Lubu Besar Dharmasraya dengan PT Tidar Kerinci Agung, dan Permasalahan Kelompok Tani Anak Rantau Pasaman dengan PT Anam Koto.  

Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Barat, bpk Saiful, Sp.MH menyampaikan : hingga 20 Oktober 2018, HGU di Lingkungan Kanwil BPN Sumbar berjumlah 110 bidang dengan total luas 22.903,30 ha. Kakanwil BPN menyatakan : Inpres 8 tahun 2018 telah yang telah dilaksanakan di Sumatera Barat diantaranya adalah : pertama, melakukan penyusunan dan verifikasi data HGU mencakup nama dan nomor, lokasi, luas, tanggal penerbitan, dan peruntukkan secara berkelajutan, dan dilaporkan secara berjenjang dari tingkat kantor Pertanahan, Kantor Wilayah hingga Kementerian. Kedua,melakukan kesesuaian HGU Perkebunan Kelapa Sawit dengan Tata Ruang, dibuktikan dengan kewajiban melampirkan rekomendasi kesesuaian tata ruang dari instansi terkait. Ketiga, pelaksanaan perlindungan dan/atau pembangunan areal hutan yang bernilai tinggi/HCV dari pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, contoh di PT TKA. Keempat, Melakukan Identifikasi Tanah terlantar terhadap HGU, hasilnya ditemukan tanah terindikasi terlantar seluas 26.136,8 ha yang tersebar di Kabupaten Pasaman Barat seluas 7.532,10 ha, Kabupaten Pasaman seluas 200,00 ha, Kabupaten Agam seluas 2.776,50 ha, Kabupaten Solok Selatan seluas 6.279,00 ha, Kabupaten Solok seluas 1.297,60 ha, Kabupaten 50 Kota seluas 857,60 ha, Kabupaten Tanah Datar seluas 183,00 ha, Kabupaten Pesisir Selatan seluas 921,00 ha, dan Kabupaten Dharmasraya seluas 6.090,00 ha. Kelima, penyediaan dan penyiapan lahan plasma untuk masyarakat. Perusahaan yang memiliki IUP wajib menfasilitasi pembangunan kebun masyarakat minimal seluas 20% dari total luas kebun perusahaan. Saat ini, Kanwil BPN tidak memproses perpanjangan HGU Perkebunan Kelapa Sawit apabilan kewajiban pembangunan kebun 20% untuk masyarakat tidak direalisasikan oleh Perusahaan.

Drs. Zaiyardam Zubir, M.Hum, Narasumber dari Akademisi dan Peneliti Konflik Perkebunan Kelapa Sawit menyampaikan dengan tegas : KEMBALIKAN TANAH-TANAH RAKYAT NAN DIRAMPOK. Beliau menyampaikan, hasil penelitiannya menunjukkan ada hubungan yang tidak seimbang antara penguasa yang kolaborasi dengan pengusaha menghadapi petani di sektor perkebunan sawit. Akibatnya, terjadi perampasan terhadap tanah ulayat. Rakyat terjajah oleh bangsanya sendiri.

Syafrial Dt Garang, Ninik Mamak dari Nagari Salareh Aia, Kec Palembayan Agam menyampaikan bahwa apa yang disampaikan Dr. Zaiyardam Zubir, M.Hum adalah benar dan ia rasakan sendiri. Sudah 3,5 dasawarsa tanah ulayat kaumnya dikuasai sepihak oleh perusahaan. Selama itu, masyarakat terus berjuang dan belum berhasil. Pemerintah mengatakan HGU yang diberikan kepada perusahaan berasal dari tanah erfacht verponding, tetapi setelah kami gugat, pemerintah tidak bisa membuktikan dokumen erfact verponding itu asli. Namun demikian, tanah ulayat kami tetap belum dikembalikan.

Akmal, dari Serikat Petani Indonesia basis Nagari Aia Gadang mengutarakan : jangankan 20%, satu jengkal pun kebun plasma tidak dibangunkan untuk masyarakat aia gadang oleh perusahaan, padahal dahulu kami Ninik Mamak kami telah menyerahkan tanah ulayat untuk perkebunan kelapa sawit perusahaan Anam Koto. Sejak tahun 2000 hingga saat ini, kami terus memperjuangkan hak kami selaku masyarakat.

Saat diskusi, Roni Rajo Batuah dari LBH Pers menyoroti Informasi dan data Implementasi Inpres 8 tahun 2018 di Sumatera Barat, terutama menyangkut Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit yang masih dipertanyakan kesubstansian pelaksanaanya, selain itu juga menanggapi perizinan dengan online single submission (OSS)  yang dianggap akan menggerus Otonomi Daerah, karena akan melahirkan kebijakan sentralistik. Pada kesempatan diskusi, Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Barat dan Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat menekankan pada perbaikan aspek tatakelola, pelayanan pengaduan, keterbukaan informasi, dan regulasi yang tidak sinkron.  

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumbar Uslaini menyatakan : Meskipun, beberapa kalangan pengusaha kelapa sawit menganggap Inpres 8 tahun 2018 sebagai permasalahan bagi industri kelapa sawit, Walhi Sumbar mendorong Inpres 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit sebagai salah satu instrumen penyelesaian konflik. Apabila Inpres ini betul-betul serius direspon dan di implementasikan di Sumatera Barat, maka wilayah kelola rakyat dan sumber-sumber kehidupan masyarakat adat dapat dipulihkan kembali, meskipun tiga dasawarsa dikuasai secara tidak adil oleh penguasa dan pengusaha. KONFLIK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT HARUS SEGERA DISELESAIKAN ! KEADILAN EKOLOGIS HARUS TERWUJUD !

Terimakasih.

Salam Adil dan Lestari

CP : Uslaini Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumbar : 08113345654
        Wengki Purwanto Peneliti Walhi Sumbar : 081266744971 



[1] Saat ini tercatat 46 Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dengan luas tanah yang dikuasai 274.533,96 ha. Tersebar di Kabupaten Pesisir Selatan 6 perusahaan (38.891,76 ha), Kabupaten Solok Selatan 9 Perusahaan (7.290,86 ha), Kabupaten Sijunjung 1 Perusahaan (27.722 ha), Kabupaten Dharmasraya 7 perusahaan (31.451,15 ha), Kabupaten Agam 4 Perusahaan (19.065,42 ha), dan Kabupaten Pasaman Barat 19 perusahaan (70.112,72 ha).