Krisis lingkungan hidup dan ancaman keselamatan rakyat dan wilayah kelolanya telah menjadi fakta yang tidak terbantahkan dari kebijakan ekonomi yang berbasis pada industri ekstraktive, seperti tambang batubara. Deforestasi dan degradasi lingkungan berupa pencemaran baik pencemaran air maupun udara, konversi lahan pertanian, konflik tenurial hingga hilangnya nyawa anak-anak yang mati di lubang tambang batubara adalah potret buram industri tambang batubara di Indonesia. Hampir setiap hari, rakyat menyuarakan penolakan tambang batubara dan proyek proyek PLTU di berbagai daerah, namun juga hampir setiap hari pemerintah terus mengobral kebijakan ekonomi yang bertentangan dengan janji politik Presiden, yakni pemulihan lingkungan hidup dan janji mensejahterakan rakyat.

Pilihan pembangunan yang berwatak patriarksis diwakili oleh industry tambang dan industry ekstraktif lainnya yang memiliki karakter eksploitasi terhadap sumber-sumber kehidupan, marjinalisasi fungsi alam dan ekosistem bagi kehidupan bersama, kepentingan kehidupan perempuan banyak dikorbankan, penggunaan ilmu pengetahuan, teknologi dan system yang meminggirkan perempuan, menghancurkan kearifan tradisi dan budaya, dan kerap kali menggunakan kekuasaan yang berbasis pada kekerasan yang berujung pada konflik sumber daya alam.

Dari sekian banyak konflik sumber daya alam dan model-model pembangunan yang senantiasa melibatkan kekerasan didalam operasinya, entitas warga negara yang berjenis kelamin perempuan hampir selalu lepas dari perhatian. Identifikasi kekerasan berbasis jender dalam setiap kelas sosial masyarakat, konteks pemecahan masalah hingga upaya pemulihan, dan ini mengakibatkan pengungkapan kekerasan yang dialami oleh perempuan luput dari upaya penyelesaian, padahal perempuan merupakan kelompok yang paling rentan ketika konflik sumber daya alam terjadi di satu sisi, namun di sisi yang lain juga sebagai kelompok yang memilki daya tahan dan daya juang yang begitu tinggi untuk mempertahankan hak atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupannya.

Selain dampak buruk batubara dan PLTU batubara yang dialami oleh semua orang, ada dampak spesifik atau khusus yang dialami oleh perempuan. Kesehatan reproduksi perempuan yang hidup di sekitar wilayah tambang batu bara terancam akibat tercemarnya sumber air dari limbah tambang, kita tahu kebutuhan spesifik perempuan terhadap air lebih besar dari laki-laki karena perempuan antara lain mengalami menstruasi dan melahirkan. Setelah dijauhkan aksesnya, perempuan juga dibatasi kontrolnya terhadap sumber-sumber kehidupannya. Sehingga ketika bicara soal industry tambang, urusannya direduksi seolah-olah hanya terkait dengan pembebasan lahan, kompensasi dan ganti rugi, padahal di ruang itulah perempuan banyak tidak memiliki kontrol terhadap tanahnya.

Bentuk pelanggaran hak asasi manusia lain yang dialami oleh perempuan namun sering kali tidak terlihat adalah ketika tambang batubara tidak menyentuh nilai jejak pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam kekayaan alamnya, sekaligus menegasikan esensi posisi dan peran perempuan dalam pengelolaan kekayaan alamnya, termasuk didalamnya peran sebagai penjaga pangan dan pengetahuan pengobatan, yang selama ini banyak dilakukan oleh perempuan baik secara individu maupun kolektif dalam keluarga dan komunitasnya. Semua pengetahuan dan pengalaman tersebut dihilangkan secara struktural oleh pertambangan dengan sokongan penuh pengurus negara.

Sehingga apa yang dimiliki oleh perempuan yakni pengalaman dan pengetahuannya dalam mengelola kekayaan alamnya kemudian tidak pernah dianggap bernilai, dampak dari pengabaian dan pengucilan tersebut, mengakibatkan hampir sebagian besar pengurusan sumber daya alam tidak melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusannya. Kalaupun ada, kebijakan tersebut jauh dari kebutuhan perempuan dan selalu menempatkan perempuan sebagai objek kebijakan.

Kemandirian perempuan untuk mendapatkan sumber ekonomi keluarga turut dihancurkan. Ketika perempuan kehilangan wilayah kelolanya dengan bertani, berkebun, membuat arang dan membuat gula merah. Pada akhirnya banyak perempuan yang tergantung hidupnya pada laki-laki baik suami, ayah, maupun anak laki-laki. Kondisi seperti ini tentu saja mengakibatkan perempuan berada posisi yang semakin lemah dalam keluarga, khususnya terkait dengan pengambilan keputusan dalam urusan publik. Ini bagian lain dari peminggiran hak-hak politik perempuan untuk menentukan keputusan dengan menyerahkan pengambilan keputusan mulai dari urusan rumah tangganya hingga urusan komunitasnya kepada laki-laki.

Potret kekerasan dalam pengelolaan sumber daya alam terhadap perempuan berbasis jender dalam sebuah relasi personal, dalam komunitas dan dalam lingkup negara yang terkait dengan agresi pasar dan alir kapital yang berdasarkan pada produksi kotor, ketamakan dan mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup, yang dalam konteks ini dapat ditemui dalam cerita industri tambang batubara.

Disisi lain perempuan juga harus siap untuk menjalankan peran ganda dan menanggung akibat dari kegagalan industri tambang batubara dalam melindungi pekerja. Tidak adanya jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja bagi pekerja disektor tambang batubara juga menjadi persoalan dan kondisi yang harus diterima oleh perempuan yang ayah, suami atau anak laki-lakinya yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga mengalami kecelakaan kerja di tambang batubara. Beban yang harus diterima oleh perempuan tidak hanya peran pengganti sebagai pencari nafkah keluarga tapi juga beban untuk memenuhi kebutuhan pengobanan dan layanan kesehatan bagi korban tambang batubara yang tidak ditanggung oleh perusahaan tambang batubara.



Kampanye Nasional Peringatan Hari Perempuan Internasional
"Perempuan dan Batubara"

Padang, 8 Maret 2018