Balai Karantina Pertanian Kelas I Padang menggagalkan upaya penyelundupan kulit binatang yang dilindungi (Harimau Sumatera). Kulit Harimau Sumatra ini rencananya akan diterbangkan melalui Bandar Udara Internasional Minangkabau (BIM) ke Jakarta melalui salah satu kargo ekspedisi yang rencananya akan diselundupkan melalui kargo BIM, padang pariaman.

Kejadian ini bermula dari laporan AVSEC kargo BIM, AVSEC menemukan paket yang mencurigakan pada jumat (12/7), saat dilakukan proses X-Ray ternyata paket yang dikirim menujukan isi berupa bahan asal hewan, dengan modus mengirimkan paket makanan ringan. Untuk mengelabuhi petugas, pelaku memasukkan kulit harimau kedalam sebuah kardus yang juga berisis sejumlah makanan ringan dalam jumlah banyak. Diluar kardus juga tertera alamat pengirim yang beralamat di Sijunjung.

Saat ini barang bukti kulit harimau ini tersebut diserahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar. Dalam rapat koordinasi yang digelar di Balai Karantina Pertaniann Kelas I Padang pada Selasa (17/7) kemarin, Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas I Padang mengatakan “bahwa kulit harimau yang ditemukan ini akan diserahkan kepada BKSDA Sumbar untuk ditindaklanjuti melalui proses hukum”.

Dalam rapat kordinasi ini Eka Dharmayanti dari BKSDA mengatakan bahwa Kulit Harimau yang ditemukan ini merupakan kulit harimau jantan yang diperkirakan berusia 2 Tahun. Beliau menambahkan bahwa “jumlah populasi Harimau Sumatera saat ini tidak lebih dari 400 ekor. Dan jumlah ini sangat memperihatinkan, dan untuk itu diharapkan kerjasama seluruh pihak agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali”

Walhi Sumbar turut diundang dalam rapat kordinasi ini. Direktur Walhi Sumatera Barat Uslaini menyampaikan “upaya pengamanan perdagangan satwa langka ini juga harus seiring dengan kebijakan pemerintah terkait dengan perlindungan kawasan hutan. Karena di Sumatera Barat luas kawasan hutan terus berkurang, karena ekspansi pertambangan, perkebunan, dan proyek-proyek pembangunan lainnya. 

Dalam kasus ini pelaku bisa dijerat 5 tahun penjara ditambah denda paling banyak 100 juta rupiah, hal ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Pelaku melanggar pasal 21 ayat (2) dan pada Pasal 40 ayat (2) dijerat dengan pidana penjara 5 tahun dan denda 100 juta rupiah.