Minimnya transparansi dan pelibatan masyarakat khususnya perempuan dan kelompok rentan dalam pembuatan kebijakan yang memiliki perspektif lingkungan perlu menjadi perhatian publik. Karena ketika berbicara tentang keterlibatan dan transparansi tentu tak dapat dilepaskan dari faktor keterbukaan penyelenggara negara terhadap kebijakan yang dibuat. Pada tahun 2008, Pemerintah dan DPR bersepakat melahirkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pada pasal 3 dinyatakan bahwa tujuan undang-undang ini diantaranya, pertama, menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik. Kedua, mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik. Ketiga, meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik, serta keempat, mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan. UU KIP menjadi salah satu landasan yuridis bagi penerapan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas kebijakan negara. Namun pada kenyataannya sekarang pelibatan masyarakat terutama kelompok-kelompok rentan seperti perempuan dan kaum disabilitas dalam pembuatan kebijakan masih sangat minim sehingga menimbulkan konflik horizontal maupun vertikal. Melihat kondisi tersebut WALHI Sumatera Barat mengangkat Diskusi Publik dengan tema “Pentingnya Transparansi, Akuntabiltas dan Partisipasi Masyarakat khususnya Perempuan dan Kelompok Rentan dalam Pembuatan Kebijakan yang Memiliki Perspektif Lingkungan”, pada hari Selasa, 18 September 2018 di Suasso Restoran Padang. Turut berpartisipasi dalam Diskusi Publik tersebut dari masyarakat, instansi pemerintah, kelompok-kelompok masyarakat, LSM, kelompok disabilitas, kelompok rentan dan mahasiswa.
Diskusi dibuka langsung oleh Direktur Walhi Sumatera Barat Uslaini, dalam sambutannya, Uslaini mengatakan diskusi ini kita angkatkan untuk membangun pemahaman bersama tentang pentingnya transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan yang memiliki perspektif lingkungan disamping itu juga untuk mendorong partisipasi perempuan dan kelompok-kelompok rentan untuk terlibat dalam penyusunan rencana pembangunan yang memiliki perspektif lingkungan.
Diskusi kemudian dilanjutkan dengan paparan dari pembicara Khalisah Khalid dari Eksekutif Nasional WALHI. Dalam paparannya khalisah khalid atau biasa di panggil Mpok Alin memaparkan bahwa banyak persoalan-persoalan yang terjadi di Indonesia yang menjadi PR bagi presiden kita diantaranya Konflik Agraria yang angkanya sudah cukup tinggi, angka pengaduan dari masyarakat banyak sekali ke komnasham dan angka tertinggi yang diadukan masyarakat itu adalah konflik agraria selain soal lingkungan. Ini tentu menjadi pertanyaan besar bagi kita kenapa ini terjadi. Selanjutnya bencana ekologis yang terjadi dari ujung timur hingga ujung barat Indonesia bencana ekologis itu sering terjadi akibat salah urus mengelola sumber daya alam. Mpok alin, menekankan bahwa semua itu adalah dampak yang ditimbulkan dari praktik panjang dari pengelolaan sumber daya alam yang mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Dia juga mengajak membangun partisipasi perempuan dan kelompok rentan secara lebih bermakna. Tidak ada lagi pembangunan yang mengeklusi kelompok tertentu terutama kelompok yang marginal, kelompok rentan yang biasa tidak pernah didengarkan oleh pengambil kebijakan, seringkali di atasnamakan tapi justru diabaikan.
Mengambil perspektif hukum, pembicara kedua, Wengki Purwanto dari PBHI Sumbar mengungkapkan bahwa dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 jelas disebutkan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”, kekayaan yang katanya memakmurkan rakyat itu sering menimbulkan konflik horizontal dan konflik vertikal di tengah masyarakat. Terkait transparansi Wengki mengatakan pemerintah harus memberikan informasi yang jelas dan transparan kepada masyarakat dan partisipasi harus sesuai dengan hati nurani masyarakat dan kalau itu dilakukan masyarakat tidak boleh ditolak oleh pemerintah.
Di akhir Diskusi Yefri Heriani sebagai Fasilitator dari WCC Nurani Perempuan, mengajak peserta membuat rekomendasi untuk pemerintah, LSM, Caleg perempuan dan media massa yang nantinya akan diberikan kepada pihak terkait lainnya.
0 Comments
Posting Komentar