SIARAN PERS WALHI SUMATERA BARAT, NOMOR :197 /ED-WSB/XII/2018
Dalam beberapa hari terakhir banyak terjadi bencana alam di Provinsi Sumatera Barat khususnya longsor dan banjir. Salah satunya terjadi pada Senin (10/12/2018) malam akibat hujan lebat. Sekitar pukul 19.00 WIB, telah terjadi tanah longsor di Bukit Tambun Tulang, Malibo Anai, Nagari Guguak, Kec. Kayu Tanam, Kab. Padang Pariaman, yang mengakibatkan badan jalan lintas Padang-Bukittinggi tertimbun tanah dan pohon kayu sehingga jalur transportasi Padang-Bukittinggi terputus total. Selain itu juga ada jembatan roboh karena debit sungai yang sangat besar menggerus badan jembatan. Petugas Balai Jalan Nasional (BJN) Wilayah III Padang sedang membangun jembatan darurat sebagai langkah penanganan sementara pada jalan putus di Km 54, tepatnya di Kawasan Kayu Tanam tersebut. Kemudian, pada Selasa (11/12/2018) siang lebih dari seribu orang terisolasi akibat tanah longsor yang melanda sejumlah kampung di Kabupaten Lima Puluh Kota. Kemudian longsor juga terjadi di jalan lintas Padang-Solok, di Panorama 2, Kota Padang pada Kamis malam (13/12/2018) sekitar pukul 22.00 WIB, yang menyebabkan satu orang meninggal dunia dan 4 luka-luka.
Dilihat dari intensitas curah hujan yang merujuk pada data BMKG mencatat 62% wilayah Indonesia sudah memasuki musim hujan berdasarkan pemutakhiran data per 13 Desember 2018. Curah hujan tinggi akan dialami Sumbar, Riau bagian Tengah, Jambi bagian barat, Muko-muko, Pekanbaru, Kampar, Kerinci, Belitung, Cilacap, Semarang, Kapuas Hulu, Samarinda, Flores, Sorong, Nabire dan Mimika.
Dari beberapa analisis yang dilakukan WALHI Sumatera Barat, bahwa beberapa wilayah yang mengalami banjir seperti Nagari Guguak, Kecamatan Kayu Tanam, Lima Puluh Kota, Pesisir Selatan dan Kota Padang memiliki topografis yang terjal dengan aliran sungai yang pendek. Topografis seperti ini menyebabkan aliran air yang cenderung tajam dan menghantam bila curah hujan tinggi. Selain itu DAS di lokasi kejadian banjir juga terancam dan kritis. Ini bisa dibuktikan dari data deforestasi hutan dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat bahwasanya hutan Sumbar telah mengalami deforestasi dan degradasi dari tahun 1999 hingga 2016 seluas 7.900 Hektare, setara dengan 3 kali luas Kota Bukittinggi. Salah satunya akibat pembangunan dalam sektor legal dan ilegal. Sektor legal alih fungsi lahan misalnya dalam pemberian izin tambang dalam kawasan hutan dan hulu sungai yang jelas-jelas mengancam ekosistem sungai dan kondisi hutan, selain itu pemberian izin oleh pemerintah dalam sektor kehutanan seperti IUPHH-HA dan HTI (Hutan Tanaman Industri) yang mengakibatkan konversi hutan primer menjadi sekunder bahkan menjadi non hutan sehingga merusak ekosistem DAS dan menyebabkan longsor dan banjir.
Bila alih fungsi lahan ini tidak dikendalikan dan fungsi hutan tidak dipertahankan maka kejadian banjir tentu akan terus terjadi setiap musim penghujan. Pemerintah seharusnya mampu mengelola secara komperhensif dalam pengelolaan DAS secara terpadu sehingga dikemudian hari fungsi hutan pada areal hulu DAS dapat menjadi upaya mitigasi bencana longsor dan banjir ketika intensitas hujan tinggi.
Selain faktor cuaca, perlu disorot juga soal beban kendaraan yang melebihi tonase jalan sehingga memicu bencana. Melihat jalur Padang – Solok di Sitinjau Lauik perlu diperhatikan beban jalan khususnya bagi kendaraan yang membawa CPO dan batu bara, getaran truk-truk besar itu memicu retakan ditebing jalan, namun tidak ada upaya penguatan tebing, sehingga saat hujan, air hujan akan masuk ke retakan-retakan yang ada di sepanjang tebing dan memicu longsor. Maka sebaiknya kita perlu melakukan evaluasi kelas jalan dan jenis kendaraan serta beban kendaraan yang melewati jalur tersebut.
Narahubung : Tommy Adam (082384730896)
0 Comments
Posting Komentar