_Hutan Lindung Batanghari di Solok Selatan, Sumatera Barat, terus digasak tambang emas ilegal. Aktivitas tambang tersebut mengancam kondisi hutan lindung dan meningkatkan sedimentasi di Sungai Batanghari.
SOLOK SELATAN, KOMPAS — Hutan Lindung Batanghari di Solok Selatan, Sumatera Barat, terus digasak tambang emas ilegal. Aktivitas tambang tersebut mengancam kondisi hutan lindung dan meningkatkan sedimentasi di Sungai Batanghari serta anak dari sungai terpanjang di Pulau Sumatera itu.
Harian Kompas, Tim Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan pemerhati lingkungan hidup di Solok Selatan yang menelusuri Sungai Batanghari dalam kawasan hutan lindung sepanjang 15 kilometer, Sabtu-Minggu (23-24/11/2019), menemukan belasan titik besar tambang emas ilegal di kiri-kanan sungai. Setidaknya ditemukan delapan eskavator yang digunakan untuk menambang.
Ketika sampai ke lokasi, sebagian besar petambang tidak bekerja dan meninggalkan lokasi. Sebagian alat berat disembunyikan ke dalam hutan. Mereka mendapat informasi bahwa tim yang datang adalah petugas yang hendak melakukan razia.
Suprapto (40), operator eskavator tambang di hutan lindung yang sempat lari, mengatakan, tambang emas mulai kembali marak di kawasan itu setahun terakhir. Sebelum operasi razia besar-besaran tahun 2014, ribuan petambang dan ratusan alat berat beroperasi di sana, termasuk warga negara asing.
Seusai operasi, kata Suprapto, sebagian besar petambang beraktivitas di anak-anak sungai ataupun kawasan hutan yang lebih dalam. Lokasi itu hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki ataupun alat berat selama sekitar satu hari.
“Kami mulai kembali ke Sungai Batanghari karena biaya operasional dan akses pengiriman logistik lebih mudah. Bisa ditempuh dengan perahu tempel dengan hitungan jam (dari pelabuhan kecil Sungai Penuh, Lubuk Ulang Aling Selatan, Sangir Batanghari, Solok Selatan). Bos juga sudah memiliki jaringan dengan aparat, jadi lebih aman,” kata Suprapto.
Tambang emas di kawasan itu dimodali secara pribadi. Pemilik lahan berkongsi dengan pemodal dan pekerja lainnya. Kata Suprapto, pemilik lahan mendapat bagian 5-10 persen, operator 5 persen, pendulang 5 persen, sedangkan sisanya bagian pemodal.
Di Sungai Batanghari, satu kelompok tambang biasanya terdapat dua eskavator beserta operator, satu kernet, tiga-empat pendulang, satu tukang masak, dan satu manajer lapangan. Kadang-kadang, pemilik lahan juga ikut berada di lokasi.
*Indikasi bekingan*
Mahyulita (41), pemilik lahan salah satu tambang di Hutan Lindung Batanghari, mengaku, juga menanggung biaya operasional, termasuk biaya solar untuk dua eskavator. Perempuan yang karib disapa Ita itu menyebut anggota DPRD Solok Selatan Syafril dan oknum pensiunan polisi, Zul, sebagai pemilik masing-masing eskavator yang beroperasi di lokasi tambangnya.
Sementara itu, anggota DPRD Sumatera Barat Khairunas disebut Ita sebagai koordinator yang menghubungkan petambang dengan oknum kepolisian. Menurut Ita, setiap bulan ia menyetor Rp 10 juta per eskavator kepada oknum di Kepolisian Resor Solok Selatan. Setoran diantarkan langsung oleh operator ke oknum polisi.
“Kemarin saya baru mengantarkan ke polres. Operator yang mengantarkan. Tidak boleh telat sehari pun. Namun, besok satu alat berat akan dikeluarkan karena emas lagi susah,” kata Ita.
Dihubungi terpisah, Selasa (26/11/2019), Syafril, Khairunas, dan Kepala Kepolisian Resort Solok Selatan Ajun Komisaris Besar Imam Yulisdianto membantah tudingan tersebut.
Syafril mengatakan, bisa jadi ada keluarga sanak saudara atau keluarga yang ikut membuka usaha tambang. “Karena saya pejabat daerah, mungkin saja menjual nama atau mencari perlindungan dengan nama saya. Itu bisa saja terjadi,” kata Syafril.
Bantahan senada juga disampaikan Khairunas. “Kalau saya tidak merasa melakukan harus bagaimana? Tidak ada begitu (jadi koordinator). Atau ada orang jual-jual nama saya di situ,” kata Khairunas.
Imam mengatakan, tidak pernah menerima setoran yang disebutkan Ita. “Memang saya tidak menerima, bagaimana lagi?” kata Imam. Ia juga tidak bisa menuduh anggotanya terlibat karena tidak ada bukti.
Menurut Imam, polisi terus melakukan penindakan terhadap petambang emas ilegal di kawasan Sungai Batanghari. Sejak menjabat Kapolres Solok Selatan, April 2018, Imam sudah menindak sekitar 14 eskavator dari petambang. Imam mengakui, memang masih ada petambang yang beroperasi, tetapi penindakan tidak akan berhenti.
*Masif*
Selain di Hutan Lindung Batanghari, aktivitas tambang emas ilegal juga masif di sepanjang 13 kilometer di arah hilir di Pelabuhan Sungai Penuh. Tambang itu menggunakan eskavator ataupun mesin pompa air diesel, baik di sungai, perkebunan karet, dan perkampungan yang dekat dengan Sungai Batanghari.
Di Jorong Talantam dan Jorong Gasing, Lubuk Ulang Aling Selatan, Sangir Batanghari, Minggu (24/11), terdapat puluhan titik tambang ilegal dan setidaknya enam eskavator. Petambang menggali di pinggir sungai, perkebunan, hingga lahan di sekitar kampung dengan luas hitungan hektar. Air keruh yang mengandung lumpur mengalir ke Sungai Batanghari.
Sementara itu, di sekitar Sungai Pamong Besar dan Pamong Kecil, subdaerah aliran Sungai Batangari di Nagari Lubuk Gadang, Sangir, Senin (26/11), aktivitas tambang emas juga masif. Setidaknya terdapat dua titik besar tambang di sekitar Sungai Pamong Besar dan satu titik besar di Sungai Pamong Kecil yang lokasinya berbatasan dengan Hutan Lindung Batanghari.
Di ketiga titik itu, setidaknya terdapat 14 eskavator yang beroperasi. Selain dengan alat berat, ada juga petambang yang menggunakan puluhan pompa air bahan bakar bensin dan ratusan petambang menggunakan dulang. Mereka memanfaatkan sisa galian tanah dari tambang dengan eskavator.
Tambang emas di Solok Selatan sudah ada sejak masa penjajahan Belanda dan semakin masif sejak 2010 dengan menggunakan alat berat. Menurut Ketua Kelompok Pecinta Alam Winalsa, Abdul Aziz, setelah operasi gabungan TNI dan Polri pada 2014, aktivitas tambang emas ilegal sempat terhenti hingga 2017. Namun, pada 2018, aktivitas itu kembali masif.
Staf Advokasi dan Penegakan Hukum Walhi Sumbar Zulpriadi mengatakan, dari penelusuran Walhi Sumbar sebulan terakhir, tambang emas ilegal setidaknya terdapat di Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh, Kecamatan Sungai Pagu, Kecamatan Sangir, dan Kecamatan Sangir Batanghari.
Di Koto Parik Gadang Diateh, aktivitas tambang emas ilegal berada di aliran Sungai Batang Bangko. Di wilayah itu, terdapat 6 titik tambang aktif dan 22 titik tambang yang ditinggalkan tanpa reklamasi. Setidaknya ada 33 eskavator tambang emas yang beraktivitas di areal Hutan Lindung Batanghari, hutan produksi terbatas, dan Hutan Nagari Pakan Rabaa.
Di Kecamatan Sungai Pagu, terdapat tiga titik aktivitas tambang aktif di Jorong Bangko dan Jorong Kandi dengan 3 eskavator. Sementara itu, di Kecamatan Sangir terdapat 3 titik tambang aktif dan 9 yang ditinggalkan tanpa reklamasi di wilayah hutan produksi terbatas. Terdapat 9 eskavator tambang emas yang beroperasi di lokasi tersebut.
Adapun di Kecamatan Sangir Batanghari, tambang emas tersebar di Jorong Kimbahan, Batang Gajah, Koto Ranah, Sungai Penuh, Pulau Panjang, Pulau Punjung dan Limau Sundal, serta Sub-DAS Batanghari. Setidaknya ada 8 titik tambang masih aktif dan 4 titik yang ditinggalkan tanpa reklamasi di wilayah hutan produksi terbatas itu. Jumlah eskavator yang beroperasi sekitar 30 unit.
“Masifnya tambang di Solok Selatan merupakan tanda lemahnya penindakan dan pengawasan oleh aparat penegak hukum dan pemerintah daerah,” kata Zulpriadi.
*Merusak lingkungan*
Aktivitas tambang emas ilegal di Sungai Batanghari dan anak sungai lainnya merusak lingkungan. Di Sungai Batanghari, aktivitas tambang menggerus sempadan sungai ke arah hutan hingga seratusan meter dan membuat lubang dengan kedalaman belasan meter.
Belasan titik tambang yang meninggalkan lubang-lubang dengan kedalaman belasan meter dan gundukan material yang membentuk semacam pulau kecil dibiarkan begitu saja. Topografi dan bentuk Sungai Batanghari pun berubah.
Lumpur bekas galian eskavator ataupun air bercampur lumpur dari pompa air membuat air Sungai Batanghari dan anak sungainya keruh. Kondisi itu membuat tingkat sedimentasi sungai di wilayah hilir semakin tinggi dan meningkatkan risiko banjir.
Selain itu, eskavator yang dimasukkan dari pemukiman ke kawasan hutan lindung juga merusak pohon-pohon yang tutupannya masih rapat. Di sejumlah titik tambang di hutan lindung, petambang merambah dan membakar lahan untuk ladang, seperti pinang.
Aziz mengatakan, kerusakan lingkungan akibat tambang emas ilegal dapat akan meningkatkan risiko bencana, terutama di wilayah hilir, seperti Dharmasraya dan Muaro Jambi. Meningkatnya sedimentasi akan membuat sungai semakin dangkal.
“Yang mengalami kerugian lebih besar dari kerusakan adalah masyarakat di wilayah hilir. Pendangkalan, rusaknya bentuk dan struktur sungai, serta berkurangnya daerah resapan air akibat pembukaan lahan akan menyebabkan sungai meluap ketika curah hujan tinggi,” kata Aziz.
Zulpriadi menambahkan, kerusakan lingkungan akibat tambang emas ilegal yang juga berkaitan dengan deforestasi telah menimbulkan bencana banjir dan longsor di Solok Selatan. Dalam seminggu terakhir, banjir tiga kali melanda Solok Selatan, antara lain di Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh, Sungai Pagu, dan Sangir.
Sumber: https://kompas.id/…/hutan-lindung-batanghari-digasak-tamba…/
0 Comments
Posting Komentar